BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
Powered By Blogger

Minggu, 25 April 2010

laporan praktikum ekologi populasi dekomposer

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
POPULASI DEKOMPOSER








BIOLOGI 4B
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKHNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan dibumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mokroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Dari segi klimatologi tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada suatu lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.
Cacing tanah dalam berbagai hal mempunyai arti penting, misalnya bagi lahan pertanian. Lahan yang mengandung banyak cacing tanah akan menjadi subur, sebab kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap oleh akar tumbuh-tumbuhan. Cacing tanah juga dapat meningkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Disamping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipatgandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur.
Kelimpahan cacing tanah pada suatu lahan di pengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, kaesaman tanah, kelembaban tanah, suhu, atau temperatur. Cacing tanah akan berkembang dengan baik apabila factor lingkungan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi sistem pertanian manusia akhir-akhir ini yang tergantung penuh pada penggunaan bahan kimia telah mengusik habitat cacing tanah. Keseimbangn lingkungan akan rusak dan berantakan bila cacing tanah sampai mengalami kepunahan, apalagi bila itu akibat ulah manusia. Adanya vegetasi diperkirakan mempengaruhi kondisi fisik tanah, dan pada akhirnya mempengaruhi keberadaan dari cacing tahan tersebut.
Jadi, dalam praktikum kali ini ingin diketahui:
Apakah keberadaan cacing tanah akan mempengaruhi kualitas tanah
Apakah adanya vegetasi akan mempengaruhi keberadaan (kepadatan Biomassa) serta pola penyebaran populasi cacing tanah.

I.2 Tujuan
Membandingkan kepadatan biomassa cacing tanah pada tempat bervegetasi dan tidak bervegetasi
Membandingkan kualitas tanah antara tempat bervegetasi dan tidak bervegetasi dengan menggunakan cacing tanah sebagai bioindikator kualitas tanah
Membandingkan pola penyebaran cacing tanah pada tempat bervegetasi dan tidak bervegetasi










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Biologi cacing tanah
Menurut Neal D. Buffaloe dalam buku Animal and Plant Diversity maka sistematika cacing tanah dapat ditulis sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Famili : Lumbridae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus sp
Secara sederhana class Oligochaeta dibagi menjadi lima famili yaitu Moniligastridae, Eudrillidae, Glosscolidae, Lumbridae dan Megascolidae. Lumbridae dan Megascolidae adalah Oligochaeta yang bersifat teristris. Jenis dari kedua famili ini meliputi : Lumbricus, Allobophora, Eutyphoeus, Eisenia, Pheretima, Perionyx, Diplocardia, Lidrillus.
Identifikasi cacing tanah secara kasar adalah dengan melihat bentuk luarnya (morfologi) dan yang lebih teliti dengan melihat organ-organ dan jaringan-jaringannya secara mikroskopis. Cara kasar dapat dilakukan dengan dengan memperhatikan letak klitelum, letak seta, banyaknya seta dan banyaknya segmen. Misalnya pada lumbricus letak klitelumnya pada segmen 27 s/d 32, sedangkan pada pheretima letak klitelumnya pada segmen 14 s/d 16. Banyaknya segmen pada cacing tanah juga bervariasi, pada pheretima jumlah segmen berkisar antara 90-132, sedangkan pada lumbricus jumlah segmennya antara 90-195.
Mengingat fungsinya yang penting secara ekologi dan kesejahtraan manusia, maka perlu dikaji secara lebih mendalam tentang karakteristik cacing tanah. Pengkajian ini meliputi aspek tingkah laku dan adaptasi cara hidup dari cacing tanah di habitatnya.
Cacing tanah memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal).
Cacing ini hidup didalam liang tanah yang lembab, subur dan suhunya tidak terlalu dingin. Untuk pertumbuhannya yang baik, cacing ini memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral atau pH 6-7,2. Kulit cacing tanah memerlukan kelembabancukup tinggi agar dapat berfungsi normal dan tidak rusakyaitu berkisar 15% - 30%. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan antara 15oC-25oC.

Pengaruh pH
Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang kurang sempurna, karena sedikitnya enzim pencernaan. Oleh karena itu cacing tanah memerlukan bantuan bakteri untuk merubah/memecahkan bahan makanan. Aktivitas bakteri yang kurang dalam makanannya menyebabkan cacing tanah kekurangan makanan dan akhirnya mati karena tidak ada yang membantu pencernaan senyawa karbohidrat dan protein. Namun bila makanan terlalu asam sehingga aktivitas bakteri berlebihan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pembengkakan tembolok cacing tanah dan berakhir dengan kematian pula. Keadaan makanan atau lingkungan yang terlalu basah, mengakibatkan cacing tanah kelihatan pucat dan kemudian mati. Untuk pertumbuhan yang baik dan optimal diperlukan pH antara 6,0 sampai 7,2.
Pengaruh kelembaban
Sebanyak 85 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum berkisar antara 15 - 30 %). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Cacing yang terdehidrasi akan kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70 - 75 % kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok.
Kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15% sampai 30%.
Pengaruh Suhu
Suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti pernafasan, pertumbuhan, perkembangbiakan dan metabolisme. Suhu rendah menyebabkan kokon sulit menetas. Suhu yang hangat (sedang) menyebabkan cepat menetas dan pertumbuhan cacing tanah setra perkembangbiakannya akan berjalan sempurna. Suhu yang baik antara 15oC-25oC. Suhu yang lebih tinggi dari 25oC masih baik asalkan ada naungan yang cukup dan kelembaban yang optimal.






II.2 Tanah
Komponen penyusun tanah terbagi menjadi 2, yaitu; komponen biotik dan abiotik
a. Komponen abiotik, yaitu terdiri dari benda-benda mati seperti air, tanah, udara, cahaya, matahari dan sebagainya
b. Komponen biotik, yaitu terdiri dari mahkluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan manusia.
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994). Tingkat dekomposisi/kematangan gambut serta kedalaman gambut sangat mempengaruhi kualitas lahan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut tergolong dalam gambut fibrik (dekompoisi awal), hemik (dekomposisi pertengahan), saprik (dekomposisi lanjut) (Noor,1996). Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilalukan analisa kimia yang biayanya relatif mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah dengan biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti et al. (1991) mendemonstrasikan bahwa fauna tanah dan mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia.

II.3 Populasi
Populasi sering didefinisikan sebagai sekelompok organisme dari spesies yang sama yang secara kolektif menempati suatu ruang atau tempat tertentu dan waktu tertentu. Oleh karena itu bila kita membicarakan populasi kita harus menyebutkan jenis individu (spesies) yang kita bicarakan dan kita perlu juga menentukan batas-batas waktu dan tempat bahkan kuantitas.Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan populasi kita harus mengenal istilah-istilah yang dipakai, bahkan karena penelitian tentang populasi menggunakan angka-angka, maka juga harus mengerti tentang matematika. Istilah-istilah yang dimaksud misalnya yang dijumpai dalam mempelajari karakteristik populasFaktor yang menentukan populasi
Jumlah dari suatu populasi tergantung pada pengaruh dua kekuatan dasar. Pertama adalah jumlah yang sesuai bagi populasi untuk hidup dengan kondisi yang ideal. Kedua adalah gabungan berbagai efek kondisi faktor lingkungan yang kurang ideal yang membatasi pertumbuhan. Faktor-faktor yang membatasi diantaranya ketersediaan jumlah makanan yang rendah, pemangsa, persaingan dengan mahkluk hidup sesama spesies atau spesies lainnya, iklim dan penyakit.
Jumlah terbesar dari populasi tertentu yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu disebut dengan kapasitas beban lingkungan untuk spesies tersebut. Populasi yang normal biasanya lebih kecil dari kapasitas beban lingkungan bagi mereka disebabkan oleh efek cuaca yang buruk, musim mengasuh bayi yang kurang bagus, perburuan oleh predator, dan faktor-faktor lainnya.


Faktor-faktor yang merubah populasi
Tingkat populasi dari spesies bisa banyak berubah sepanjang waktu. Kadangkala perubahan ini disebabkan oleh peristiwa-peristiwa alam. Misalnya perubahan curah hujan bisa menyebabkan beberapa populasi meningkat sementara populasi lainnya terjadi penurunan. Atau munculnya penyakit-penyakit baru secara tajam dapat menurunkan populasi suatu spesies tanaman atau hewan. Sebagai contoh peralatan berat dan mobil menghasilkan gas asam yang dilepas ke dalam atmosfer, yang bercampur dengan awan Dan turun ke bumi sebagai hujan asam. Di beberapa wilayah yang menerima hujan asam dalam jumlah besar populasi ikan menurun secara tajam.
Pola Penyebaran Individu
Penyebaran adalah pola tata ruang individu yang satu relative terhadap yang lain dalam populasi. Penyebaran atau distribusi individu dalam satu populasi bias bermacam – macam, pada umumnya memperlihatkan tiga pola penyebaran, yaitu : enyebaran secara acak, penyebaran secara merata, dan penyebaran berkelompok (Rahardjanto, 2001)
Penyebaran secara teratur (regular dispersion) dengan individu – individu yang kurang lebih berjarak sama satu dengan yang lain, jarang terdapat di alam, tetapi umumnya di dalam suatu ekosistem yang dikelola, dan disini tanaman atau pohon memang sengaja datur seperti itu yaitu jarak yang sama untuk menghasilkan produk yang optimal (Setiono, 1999).
Penyebaran acak (random dispersion) juga sangat jarang terjadi dialam. Penyebaran semacam ini biasanya terjadi apabila factor lingkunganya sangat seragam unuk seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat – sifat untuk berkelompok dai organisme tersebut,, dalam tumbuhan ada bentuk – bentuk organ tertentu yang menunjang untuk terjadinya pengelompokan tumbuhan (Azhari, 2007).
Penyebaran secara merata, umum terdapat padaa tumbuhan. Penyebaran seacam ini terjadi apabila adapersaingan yang kuat diantara individu – individu dalam populasi tersebut. Pada tumuhan misalnya untuk mendapatkan nutrisi dan ruang (Lestari, 2001).
Penyebaran secara berkelompok (clumped dispersion) dengan individu – individu yang bergerombol dalam kelompok – kelompok adalah yang paling umum terdapat dialam, terutama untuk hewan (Hastuti, 2007).
Di dalam populasi, ada tiga pola penyebaran secara umum, yaitu acak, teratur, dan berkelompok. Sedangakan faktor-faktor yang berperan dalam penyebarannya antara lain:1. Suhu2. Kelembaban3. Cahaya4. Struktur tanah dan nutrient5. Kimia air, pH, dan salinitas6. Aliran air, O2, dsb.


BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu yang bervegetasi di depan/di sekeliling pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullan Jakarta, oleh kelompok 2,4, dan 6 dan tidak bervegetasi oleh kelompok 1,3, dan 5. Kondisi lingkungan secara umum pada habitat bervegetasi dengan kondisi tanah yang agak basah dengan keadaan cuaca yang kurang intensitas cahayanya, dengan suhu yang tidak terlalu panas karena tertutup oleh pohon / vegetasi, sama halnya dengan yang tidak bervegetasi namun pada yang tidak bervegetasi kondisi tanah agak kering karena tidak adanya pohon / vegetasi yang menutupi. Penelitian di adakan pada hari selasa 23 maret 2010 pada siang hari.
III.2 Bahan dan alat
Bahan yang digunakan yaitu; larutan formalin
Alat yang digunakan yaitu; Roll meter, penggali, plot (25X25cm), plastik koleksi, Koran bekas (kertas pengisap), Timbangan
III.3 Cara kerja
Pengumpulan cacing tanah dengan menggunakan metode hand sorting dengan langkah- langkah ; Bersihkan serasah penutup tanah pada petakan yang akan diamati, batasi petak 25cm persegi, Semprotkan larutan formalin 4% pada permukaan tanah, Diamkan selama beberapa menit, Kumpulkan cacing tanah yang ada dipetakan mulai dari kedalaman 10cm sampai 30cm simpan dalan plastic koleksi, Dilaboratorium keringkan cacing dengan kertas pengering timbang dengan timbangan
III.4 Analisis data
Pengukuran kepadatan biomassa cacing tanah, pertama dengan mengambil cacing tanah dari tanah dimana kita melakukan penelitian kemudian timbanglah total berat cacing tanah yang di dapat/ diperoleh lalu masukkan dalam rumus
Kerapatan biomassa = Total berat cacing tanah dalam kuadrat
Luas kuadrat
Penentuan kualitas tanah berdasarkan kepadatan biomassa, ada 5 hal yang dapat dilakukan pengukuran; kandungan air tanah, kandungan ortanik tanah, kandungan mineral tanah, bulk density, dan total porositas.
Untuk kandungan air tanah pertama ambil tanah dengan menggunakan bor tanah sedalam 10cm , lalu ambil kurang lebih 10gram dan masukkan dlam wadah tertutup, dengan menggunakan timbangan tantukan berat segarnya, lalu dilaboratorium masukkan cup[likan tanah dalam oven yang bersuhu 1050c selama 24 jam atau sampai berat konstan lalu setelah itu dingankan sebentar dan timbang berat kering tanah tersebut, masukkan kedalam rumus;
Kandungan air tanah (%)= berat segar tanah – berat kering tanah X 100%
Berat segar tanah
Untuk kandungan organik dan mineral tanah dengan cara dari cuplikan tanah yang sudah kering kemudian masukkan kedalam porselen kering yang telah diketahui beratnya, lalu kita lakukan proses pengabuan dengan tungku pembakaran dengan suhu tinggi (1000 – 12000c )kemudian masukkan dalam rumus
Kandungan organik tanah (%)= berat kering tanah – berat abu tanah X100%
Berat kering tanah
Kandungan mineral tanah = berat abu tanah X100%
berat kering tanah
Untuk pengukuran bobot isi ( Bulk density ) dengan cara permukan tanah dibersihkan dari rumput dan serasah lalu Core sampler diletakkan diatas tanah kemudian buatlah lingkaran dengan pusat yang sama dengan Core sampler dan jari jari dua kali jari –jari Core sampler. Pada lingakran tersebut buatlah lubang sedalan 10cm agar pada saat Core sampler dimasukkan mudah ditekan dalam tanah. Kira- kira Core sampler sudah masuk kedalam tanah potonglah bagian bawah Core sampler dengan pisau atau sekop, ratakan mulut Core sampler dengan pisau atau benang nilon tipis. Cuplikan dijaga agar tidak hancur saan dibawa ke laboratorium untuk proses lebih lanjut. Dilaboratorium cuplikan di timbang dengan timbangan analitik dengan ketelitian 0,01gram, kemudian cuplikan dioven pada suhu 1050c selama 24 jam dan timbang berat konstan. Lalu masukkan nilai dalam rumus:

Bulk density = Berat kering tanah
Volume Core sampler
Untuk porositas dihitung dari Bulk density dan particle density. Particle density atau kepadatan partikel tanah berkisar antara 2,6 - 2,7 gcm-1 dengan rumus;
Total Porositas (%) = 1 - Bulk density X 100%
Particle density
3





BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1
Tempat kelompok pH Tanah Suhu Tanah (0C ) Kand. Air Tanah (%) Kand. Organik (%) B Kand. Anorganik (%) Bobot isi (gr/cm3) Porositas tanah (%)
Vegetasi 2 5 28 32 86,76 97,87 0,9629 63,66
4 5,4 29 28 13,89 86,11
6 6 28 11,43 88,57
Non-Vegetasi 1 5,2 30 24 2,13 97,8 0,9694 63,42
3 4,5 29 31 13,41 89,06
5 5 30 29 29,80 70,20

Pada hasil pengukuran faktor abiotik tanah pada tempat bervegetasi dan tidak bervegetasi terdapat perbedaan menurut saya perbedaan itu terjadi karena pada tempat yang bervegetasi cenderung lebih rendah suhu lingkungannya karena tertutup oleh pepohonan dan juga kandungan air tanah yang besar terdapat pada tempat yang bervegetasi karena adanya komponen biotiknya yaitu pepohonan.
Ukuran cacing tanah yang ditemukan pada tempat non vegetasi relative lebih kecil dibandingakan dengan yang bervegetasi ini di mungkinkan karena di daeran non vegetasi kurang adanya nutrisi bagi cacinga tanah tersebut dan cacinga ini ditemukan pada kedalaman tdak lebih dari 15cm. berbeda halnya dengan tempat yang bervegetasi cacing tanah yang di temukan pada tempat itu relative lebih besar dari pada di tempat non vegetasi dan ditemukan pada kedalaman lebih dari 15 cm masih ditemukan cacing tanahsampai kedalaman 30cm. hal ini juga berhubungan dengan suhu tanah dan juga pH tanah yang berbeda-beda pada setiap tempatnya.






Tabel 2
Tempat Kelompok Biomassa total/Plot (gr) Kepadatan Biomassa (gr/m2) Rata-rata kepadatan biomassa (gr/m2) Kualitas tanah
Vegetasi 2 7 112 44,8 Tercemar berat
4 0,4 6,4 Tercemar berat
6 1,0 16 Tercemar berat
Non-Vegetasi 1 0,6 9,6 11,2 Tercemar berat
3 0,8 12,8 Tercemar berat
5 0,7 11,2 Tercemar berat

Pada hasil perhitungan kepadatan biomassa cacing tanah pada habitat bervegetasi memiliki rata-rata kepadatan biomassa sebesar 44,8 gr/m2 sedangkan pada tempat non-vegetasi sebesar 11,2 gr/m2 , pada hasil perhitungan ini dapat ddiketahui keepadatan rata-rata biomassa pada tempar yang bervegetasi lebih besar dari pada ditempat non-vegetasi, karena pada tempat vegetasi memang ditemukan banyak cacing tanah yang terdapat disana sedang yang non vegetasi hanya sedikit, cacing tanah ditemukan pada kedalam bervariasi ada yang sampai 30cm masih ditemukan cacing tanah ada juga yang hanya pada kedalaman 10cm. pada kedalaman 30cm masih terdapat /ditemukan cacing tanah itu adalah di tempat yang bervegetasi karena cacing dapat bertahan di tempat itu dengan nutrisi yang tersedia, sedang yang hanya terdapat pada kedalaman 10cm saja berada pada tempat non vegetasi karena cacing tanah tidak dapat nutrisi pada kedalaman sampai 30cm karena tidak adanya vegetasi disana. Cacing tanah yang ditemukan adalah cacing tanah dengan tipe endogenik / cacing tanah yang hidupnya di dalam tanah. Berdasarkan kedalamannya cacing tanah terbagi menjadi 3 tipe yaitu ; tipe epigeik / hidup dipermukaan tanah, tipe endogeik / hidup didalam tanah, dan tipe anecigeik / hidup dalam tanah dan sekresi di permukaan tanah.
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994). Tingkat dekomposisi/kematangan gambut serta kedalaman gambut sangat mempengaruhi kualitas lahan gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya gambut tergolong dalam gambut fibrik (dekompoisi awal), hemik (dekomposisi pertengahan), saprik (dekomposisi lanjut) (Noor,1996). Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Untuk menentukan kualitas tanah secara kimia perlu dilalukan analisa kimia yang biayanya relatif mahal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah dengan biaya relatif murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti et al. (1991) mendemonstrasikan bahwa fauna tanah dan mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia.
Tanah
Sekitar 75-90% bobot cacing tanah hdup adalah air (Grant cit, Anas, 1990) sehingga dehidrasi ( pengeringan) merupakan hal yang sangat menentukan bagi cacing tanah. Secara alamiah, cacing akan bergerak ke tempat yang lebih basah atau diam jika terjadi kekeringan tanah. Apabila tidak terhindar dari tanah kering, ia teta[ da[at bisa bertahan hidup meskipun banyak kehilangan air tubuhnya. Sebagian besar Lumbrisidae dapat hidup meski tubuhnya telah kekeringan hingga 50% ait bahkan L. terrestris hingga 70% dan a. chlorotica hingga 75%.
Meskipun dapat bertahan hidup pada kondisi kering, kesuburan cacing tanah sangat terpengaruh. Hal ini dapat terlihat apabila cacing tanah mengalami kekeringan dalam waktu lama secara berkelanjutan, maka pada kondisi normal, untuk pemulihannya ke populasi asal perlu 2 tahun ( Evans dan Guilds cit. hanafiah, 2002)

Dalam perhitungan jumlah populasi decomposer digunakan cara formalin karena dianggap paling mudah dilaksanakan atau dilakukan, namun dalam literature dikatakan bahwa pada metode ini bnyak kekurangannya. Menurut Surin,nurdin Muhammad (1989). Metode formalin, pertama kali ditemukan oleh Raw tahun 1959. Metode ini kurang baik untuk jenis cacing tanah yang membuat lubang horizontal di tanah karena cairan formalin itu tidak sampai sempurna pada cacing. Konsentrasi formalin yang digunakan disarankan adalah berkisar antara 0,165-0,55% dan sebaiknya 0,27%. Namun itu bergantung pada tingkat kekeringan tanah tersebut.
Dalam jumlah cacing tanah yang telah ditemukan dalam populasi yang diamati , terdapat sedikit populasi hewan decomposer didalamnya. Terutama pada plot non vegetasi, ukurannya pun tergolong kecil karena memang tanah yang dijadikan plot merupakan tanah liat dan mengandung pH yang cukup asam yakni sekitar 4,5 (kelompok 3). Pada 15menit setelah penyemprotan formalin ke tanah tdak di jumpainya cacing yang keluar dari dalam tanah ini di karenakan keadaan tanah yang belum terlalu jenuh, namun sampai batas waktu yang telah di tentukan tidak ada cacing yang keluar mungkin karena kerapatan tanah sehingga zat kimia (formalin) tidak sampai dengan sempurna pada cacing. Kemudian tanah di congkel sedalam 30 cm secara bertahap ( 10 cm ) dan kemudian diambil dari tanah kedalaman 10cm untuk dilihat / di ambil cacing yang terdapat pada kedalaman 10cm berlanjut sampai kedalaman 30 cm.








Tabel 3
Tempat Kelompok Kepadatan Biomassa (x) (gr/m2) Rata-rata kepadatan Biomassa (X) (gr/m2) S2 S2 /X

Pola Penyebaran
Vegetasi 2 112 44,8 6021,12 134,4 Berkelompok
4 6,4
6 16
Non-Vegtasi 1 9,6 11,2 376,32 33,6 Berkelompok
3 12,8
5 11,2

Pola penyebaran pada cacing tanah pada tempat bervegetasi maupun non vegetasi adalah berkelompok tidak terdepat perbedaan pada keduanya walaupun menurut literature seharusnya yang berkelompok adalah yang bervegetasi karena cacing tanah memiliki cukup nutrisi dari vegetasi yang berada pada sekeliling lingkungannya. Pada non vegetasi sebenarnya ada vegetasi seperti rerumputan jadi kemungkinan ada cacing yang terdapat pada lingkungan tersebut karena terdapat vegetasi rerumputan. Cacing tanah yang ditemukan adalah cacinga tanah dengan tipe endogenik / cacing tanah yang hidupnya di dalam tanah. Berdasarkan kedalamannya cacing tanah terbagi menjadi 3 tipe yaitu ; tipe epigeik / hidup dipermukaan tanah, tipe endogeik / hidup didalam tanah, dan tipe anecigeik / hidup dalam tanah dan sekresi di permukaan tanah.
Dari penelitian terhadap family Lumbricidae di British, terlihat bahwa tipe epigeik meliputi spesies D.octaendra dan B.eiseni yang hidup secara permanen pada horizon organic permukaan tanah. Tipe endogeik meliputi cacing tanpa pigmen, yang mempunyai trowongan permanen hingga kedalaman sekitar 45cm, serta L. terrestis yang berterowongan permanen hingga kedalaman 1,5 – 2 m. tipe Aneciqueik meliputi O. lacteum dan O. cyancum, serta cacing- cacing besar berpigmen seperti A. longa dan A. noctura dewasa yang terdapat pada kedalaman hingga 45 cm, serta E. rosea.


Faktor-faktor ekologis yang mempengaruhi cacing tanah meliputi:
Keasaman (pH) tanah
Kelengasaan tanah
Temperature
Aerasi dan CO2
Bahan organic
Jenis tanah
Dan suplai nutrisi
BAB V
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan rata-rata biomassa pada tempat yang bervegetasi dengan tempat yang non-vegetasi karena cacinga tanah yang ditemukan pada tempat yang bervegetasi relative lebih banyak dan lebih besar ukurannya dari pada yang non vegetasi. Factor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan populasi dekomposer pada kedua tempat yang berbeda itu adalah faktor abiotik seperti suhu tanah, pH tanah, kelembaban dan juga kandungan nutrisi dan faktor biotiknya. Pola penyebaran cacinga tanah adalah berkelompok / seragam. Adanya cacinga tanah juga dapat mempengaruhi kesuburan dan produktivitas tanah





















DAFTAR PUSTAKA
Bawa, Wayan. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Singaraja : STKIP Singaraja
Bawa, Wayan. 1998. Ilmu Tingkah Laku Hewan (Etologi). Singaraja : IKIP Negeri Singaraja
Budiarti, Asiani, Palungkun, Roni, 1992. Cacing Tanah. Jakarta : Penebar Swadaya
Kimball, John W. 1998. Biologi Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga
Azhari, Siti. 2007. Bencana Air Karena Salah Urus. Jurnal Sosioteknologi Edisi 10 Tahun 6, April 2007.
Hastuti, Liliana. 2007. Asal – Usul Domestikasi Dalam Latar Belakang Ekologi. Jurnal Ilmu Pertanian USU Volume 2 no 7, 2007. Hal 34 – 47. Lestari, P. 2001. Fraksional POOL Bahan Organik Tanah Labil Pada Lahan Hutan dan Lahan Deforestasi. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia Volume 3 No 2, 2001. Hal 75 – 83.
Setiono, Djoko. 1999. Keberadaan Taman Nasional Baluran Terancam Acacia Nilotica (Akasia Duri). Jurnal Nasional Taman Baluran Vol 5 No 14, 1999. Hal 45 – 58.
Eni Maftu’ah, M. Alwi, dan Mahrita Willis. 2005. POTENSI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS TANAH GAMBUT. BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 1-14 http://bioscientiae.tripod.com














Lampiran
Tabel perhitungan
Kelompok Biomassa total (x) X2 Rata2 kpdatn Biomassa (X) ∑ (X2) ∑ (X2)
n S2 S2 /X

2 7/0,0625=112 12544 44,8 12840,96 4280,32 6021,12 134,4
4 0,4/0,0625=6,4 40,96
6 1,0/0,0625=16 256
1 0,6/0,0625=9,6 92,16 11,2 381,44 127,14 376,32 33,6
3 0,8/0,0625=12,8 163,84
5 0,7/0,0625=11,2 125,44

Tabel 1 faktor lingkungan abiotik
Tempat kelompok pH Tanah Suhu Tanah (0C ) Kand. Air Tanah (%) Kand. Organik (%) B Kand. Anorganik (%) Bobot isi (gr/cm3) Porositas tanah (%)
Vegetasi 2 5 28 32 86,76 97,87 0,9629 63,66
4 5,4 29 28 13,89 86,11
6 6 28 11,43 88,57
Non-Vegetasi 1 5,2 30 24 2,13 97,8 0,9694 63,42
3 4,5 29 31 13,41 89,06
5 5 30 29 29,80 70,20






Tabel 2 kepadatan biomassa cacing tanah
Tempat Kelompok Biomassa total/Plot (gr) Kepadatan Biomassa (gr/m2) Rata-rata kepadatan biomassa (gr/m2) Kualitas tanah
Vegetasi 2 7 112 44,8 Tercemar berat
4 0,4 6,4 Tercemar berat
6 1,0 16 Tercemar berat
Non-Vegetasi 1 0,6 9,6 11,2 Tercemar berat
3 0,8 12,8 Tercemar berat
5 0,7 11,2 Tercemar berat

Tabel 3 pola penyebaran cacing tanah
Tempat Kelompok Kepadatan Biomassa (x) (gr/m2) Rata-rata kepadatan Biomassa (X) (gr/m2) S2 S2 /X

Pola Penyebaran
Vegetasi 2 112 44,8 6021,12 134,4 Berkelompok
4 6,4
6 16
Non-Vegtasi 1 9,6 11,2 376,32 33,6 Berkelompok
3 12,8
5 11,2

laporan praktikum ekologi persaingan intra dan interspsifik

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
KOMPETISI INTERSPESIFIK DAN INTRASPESIFIK PADA TUMBUHAN

















BIOLOGI 4B
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKHNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Apabila ditinjau dari segi proses alam. Manusia, seperti halnya makhluk-makhluk hidup lainnya selalu berinteraksi dengan lingkungannya, demikian juga interaksi yang terjadi antar setiap organisme dengan lingkungannya merupakan proses yang tidak sederhana melainkan suatu proses yang kompleks. Karena didalam lingkungan hidup terdapat banyak komponen yang disebut komponen lingkungan (Soemarwoto, 1983). Berdasarkan konsep dasar pengetahuan ekologi, komponen lingkunganyang dimaksud tersebut juga dinamakan komponen ekologi karena setiap komponen lingkungan tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dan saling memengaruhi baiksecara langsung maupun tidak langsung (Odum, 1993) .
Makhluk hidup dalam mempertahankan hidupnya memerlukan komponen lain yang terdapat dilingkungannya. Misalnya udara dan air yang sangat mereka perlukan untuk bernafas dan minum dan kebutuhan lainnya. Seperti oksigen yang dihirup oleh hewan dari udara untuk pernafasan, sebagian beasr berasal dari tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis. Sebaliknya, karbondioksida yang dihasilkan dari pernapasan oleh hewan digunakan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan selain memanfaatkan karbondioksida, juga memerlukan bahan-bahan lainnya yang diperlukan oleh tumbuhan untuk proses tumbuh dan berkembang. Seperti energi dari radiasi matahari, air dan zat-zat hara.
Salah satu bentuk interaksi antara satu populasi dengan populasi lain atau antara satu individu dengan individu lain adalah bersifat persaingan (kompetisi). Persaingan terjadi bila kedua individu mempunyai kebutuhan sarana pertumbuhan yang sama sedangkan lingkungan tidak menyediakan kebutuhan tersebut dalam jumlah yang cukup. Persaingan ini akan berakibat negatif atau menghambat pertumbuhan individu-individu yang terlibat.

Persaingan dapat terjadi diantara sesama jenis atau antar spesies yang sama (intraspesific competition), dan dapat pula terjadi diantara jenis-jenis yang berbeda (interspesific competition). Persaingan sesama jenis pada umumnya terjadi lebih awal dan menimbulkan pengaruh yang lebih buruk dibandingkan persaingan yang terjadi antar jenis yang berbeda.
Sarana pertumbuhan yang sering menjadi pembatas dan menyebabkan terjadinya persaingan diantaranya air, nutrisi, cahaya, karbon dioksida, dan ruang. Persaingan terhadap air dan nutrisi umumnya lebih berat karena terjadi pada waktu yang lebih awal. Faktor utama yang mempengaruh persaingan antar jenis tanaman yang sama diantaranya kerapatan. Pengaruh persaingan dapat terlihat pada laju pertumbuhan (misalnya tinggi tanaman dan diameter batang), warna daun atau kandungan klorofil, serta komponen dan daya hasil.
Beberapa waktu terakhir, berbagai upaya memaksimalkan hasil tanaman budidaya telah banyak dilakaukan. Upaya-upaya tersebut dapat berupa penggunaan bibit unggul atau mengatur jarak tanam. Pengaturan populasi tanaman pada hakekatnya adalah pengaturan jarak tanam yang nantinya akan berpengaruh pada persaingan dalam penyerapan zat hara, air, dan cahaya matahari. Jika hal tersebut tidak diatur dengan baik , hasil tanaman akan ikut terpengaruh. Jarak tanam rapat akan mengakibatkan terjadinya suatu kompetisi, baik inter maupun intraspesies. Beberapa penelitian tentang jarak tanam menunjukkan bahwa semakin rapat jarak tanam maka semakin tinggi tanaman tersebut dan secara nyata akan berpengaruh terhadap jumlah cabang, luas permukaan daun dan pertumbuhan tanaman (Budiastuti , 2009).
Kacang hijau dan jagung merupakan jenis tumbuhan dengan habitat yang berbeda. Akan tetapi, jika keduanya ditanam pada satu media bukan tidak mungkin akan terjadi suatu interaksi. Interaksi tersebut tentu saja berupa kompetisi dimana keduanya tidak hanya memeperebutkan tempat tumbuh, tetapi juga saling memperebutkan zat hara dan sinar matahari untuk berfotosintesis. Hal ini berarti terjadi tumpang tindih relung ekologi antara kacang hijau dan jagung. Tumpang tindihnya relung ekologi antara kacang hijau dan Jagung akan mempengaruhi pertumbuhan dan daya hidup keduanya. Oleh karena itulah percobaan ini dilakukan sehingga dapat diketahui pengaruh kompetisi terhadap pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata) dan jagung (Zea mays).

I.2 Tujuan
Untuk mempelajari persaingan intraspesifik yang terjadi antara jenis tanaman yang sama.
Untuk mempelajari persaingan interspesifik yang terjadi antara jenis tanaman yang berbeda.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kompetisi
Kompetisi adalah interakksi antar individu yang muncul akibat kesamaan kebutuhan akan sumberdaya yang bersifat terbatas, sehingga membatasi kemampuan bertahan (survival), pertumbuhan dan reproduksi individu penyaing (Begon et al .1990), sedangkan Molles (2002) kompettisi didefinisikan sebagai interaksi antar individu yang berakibat pada pengurangan kemampuan hidup mereka. Kompetisi dapat terjadi antar individu (intraspesifik) dan antar individu pada satu spesies yang sama atau interspesifik (Krebs, 2002; Molles, 2002)
Kompetisi dapat didefenisikan sebagai salah satu bentuk interaksi antar tumbuhan yang saling memperebutkan sumber daya alam yang tersedia terbatas pada lahan dan waktu sama yang menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan dan hasil salah satu jenis tumbuhan atau lebih. Sumber daya alam tersebut, contohnya air, hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh (Kastono, 2005).
Definisi kompetisi sebagai interaksi antara dua atau banyak individu apabila (1) suplai sumber yang diperlukan terbatas, dalam hubungannya dengan permintaan organisme atau (2) kualitas sumber bervariasi dan permintaan terhadap sumber yang berkualitas tinggi lebih banyak.organisme mungkin bersaing jika masing-masing berusaha untuk mencapai sumber yang paling baik di sepanjang gradien kualitas atau apabila dua individu mencoba menempati tempat yang sama secara simultan. Sumber yang dipersaingkan oleh individu adalah untuk hidup dan bereproduksi, contohnya makanan, oksigen, dan cahaya (Noughton, 1990).
Secara teoritis ,apabila dalam suatu populasi yang terdiri dari dua spesies , maka akan terjadi interaksi diantara keduanya. Bentuk interaksi tersebut dapat bermacam-macam,salah satunya adalah kompetisi. Kompetisi dalam arti yang luas ditujukan pada interaksi antara dua organisme yang memperebutkan sesuatu yang sama. Kompetisi antar spesies merupakan suatu interaksi antar dua atau lebih populasi spesies yang mempengaruhi pertumbuhannya dan hidupnya secar merugikan.Bentuk dari kompetisi dapat bermacam-macam. Kecenderungan dalam kompetisi menimbulkan adanya pemisahan secara ekologi , species yang berdekatan atau yang serupa dan hal tersebut di kenal sebagai azaz pengecualian kompetitif ( competitive exclusion principles ) (Ewusie,1990).
Kompetisi dalam suatu komunitas dibagi menjadi dua , yaitu
Kompetisi sumber daya (resources competition atau scramble atau exploitative competition ), yaitu kompetisi dalam memanfaatkan secara bersama-sama sumber daya yang terbatas
Inferensi (inference competition atau contest competition), yaitu usaha pencarian sumber daya yang menyebabkan kerugian pada individu lain, meskipun sumber daya tersebut tersedia secara tidak terbatas. Biasanya proses ini diiringai dengan pengeluaran senyawa kimia (allelochemical) yang berpengaruh negatif pada individu lain (Lamberg, 1998;kerbs, 2002; Molles, 2002)
Alelopati (Allelopathy) adalah efek negatif (menghambat perkecembahan dan pertumbuhan) yang ditimbulkan oleh suatu tanaman pada tanaman lain yang ada disekitarnya melalaui pelepasan senyawa kimia yang berasal dari proses metabolism sekunder (Muller-Dombois & Ellenberg, 1974; Soerianegara & Indrawan, 1980; Lamberrs, 1998; Muller, 1990 yang dikutip oleh Hierro & Callawai, 2003). Namun tidak semua alelopati bersifat negatif, ada beberapa senyawa alelopati yang bersifat positif baik secara langsung ataupun tidak langsung (Lambers et al. 1998; Kerbs, 2002; Ferguson & Rathinasabapathi, 2003; Broz & Vivanco, 2006)
II.2 Macam-macam Kompetisi
Kompetisi dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
Kompetisi intraspesifik yakni persaingan antara organisme yang sama dalam lahan yang sama
Kompetisi interspesifik yakni persaingan antara organisme yang beda spesies dalam lahan yang sama
Intraplant competition yakni persaingan antara organ tanaman, misalnya antar organ vegetatif atau organ vegetatif lawan organ generatif dalam satu tubuh tanaman
Interplant competition yakni persaingan antar dua tanaman berbeda atau bersamaan spesiesnya (dapat pula terjadi pada intra maupun interplant competition)
(Kastono , 2005)

II.3 Persaingan intraspesifik
Pada latihan dalam laboratorium dalam persaingan intraspesifik diambil contoh hasil telur pada Drosophyla dalam kaitannya dengan rapatan populasi. Dalam percobaan ini pengaruh rapatan populasi pada kecepatan produksi telur pada lalat buah Drosophyla akan dipelajari sebagai suatu contoh persaingan intraspesifik. Tempat penimbunan telur akan dibuat tetap dan jumlah lalat betina bertambah secara logaritmik ( Michael ,1994 ).

II.4 Persaingan Interspesifik
Adanya lebih dari satu spesies dalam suatu habitat menaikkan ketahanan lingkungan kapan pun spesies lain bersaing secara serius dengan spesies pertama untuk beberapa sumber penting, hambatan pertumbuhan terjadi dalam kedua spesies. Hokum Gause menyatakan bahwa tidak ada spesies dapat secara tak terbatas menghuni ceruk yang sama secara serentak. Salah satu dari spesies-spesies itu akan hilang atau setiap spesies menjadi makin bertambah efisien dalam memanfaatkan atau mengolah bagian dari ceruk tersebut dengan demikian keduanya akan mencapai keseimbangan. Dalam situasi terakhir, persaingan interspesifik berkurang karena setiap spesies menghuni suatu ceruk mikro yang terpisah (Michael, 1994).
Persaingan diantara tumbuhan secara tidak langsung terbawa oleh modifikasi lingkungan. Di dalam tanah, system-sistem akan bersaing untuk air dan bahan makanan, dan karena mereka tak bergerak, ruang menjadi faktor yang penting. Di atas tanah, tumbuhan yang lebih tinggi mengurangi jumlah sinar yang mencapai tumbuhan yang lebih rendah dan memodifikasi suhu, kelembapan serta aliran udara pada permukaan tanah (Michael, 1994).


BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Waktu dan tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu April 2010 di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

III.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah polybag ukuran 5 kg , alat ukur (meteran dan neraca) , gelas plastik (bekas air kemasan), sendok/garpu tanah, silet, penggaris.
Bahan-bahan yang digunakan adalah biji jagung (Zea mays), biji kacang hijau (Vigna radinata), tanah

III.3 Cara kerja
Langkah pertama yang dilakukan adalah biji hijau (Vigna radiata) dan jagung (Zea mays) direndam selama 24 jam. Setelah itu, masing-masing biji dikecambahkan pada media gelas plastik (bekas air kemasan) yang dilapisi kapas basah. Setelah tumbuh dua daun pertama, masing-masing biji disemai ke polybag yang telah diisi tanah dan pupuk. Setelah itu, penyemaian diatur sesuai pola kompetisi (intraspesifik dan interspesifik) dan rancangan percobaan. Kemudian, pengamatan pertumbuhan biji dilakukan setiap 3 hari sekali selama 1 bulan (30 hari ). Pengamatan tersebut berupa pengukuran tinggi tanaman (pertumbuhan vegetatifnya).

Penanaman
Pertama masukkan tanah kedalam polybag lalu tanam biji jagung (Zea mays) dan biji kacang hijau (Vigna radinata) dalam polybag yang telah tersedia, baik secara terpisah maupun secara bersamaan, dengan pola kerapatan tertentu. Sesuai dengan table berikut

Tabel 1 pola penanaman jagung (perlakuan J)
Kode perlakuan Jumlah lubang Pola penanaman
J-1 1 J
J-2 2 J J
J-4 4 J J
J J
J-8 8 J
J J J
J J J
J

Tabel 2 Pola penanaman Kacang Hijau (Perlakuan K)
Kode perlakuan Jumlah lubang Pola penanaman
K-1 1 K
K-2 2 K K
K-4 4 K K
K K
K-8 8 K
K K K
K K K
K





Tabel 3.Pola penanaman jagung dan Kedelai (JK)
Kode perlakuan Jumlah lubang J Jumlah Lubang K Pola penanaman
JK-1 1 1 J K
JK-2 2 2
J K
K J
JK-4 4 4


J
J K J
K J K
K

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil pengamatan
GRAFIK RATA-RATA PERTUMBUHAN JAGUNG, KACANG HIJAU DAN JAGUNG-KACANG HIJAU



PERLAKUAN RATA-RATA TINGGI TANAMAN PADA HARI KE-
3 6 12 15 18 21
K1 0 7,5 18 21 22 22
K2 0,5 7,5 9,25 9,25 10 10,5
K4 1,25 13,37 21,12 24,12 24,25 24,37
K8 1,25 14,87 20,75 23,56 23,75 27,18



PERLAKUAN RATA-RATA TINGGI TANAMAN PADA HARI KE-
3 6 11 14 18
J1 0 0 0 0 0
J2 0 0 0 0 0
J4 0 1,05 7 7,5 8
J8 1,9 2,5 16,8 18,2 19,1



PERLAKUAN RATA-RATA TINGGI TANAMAN PADA HARI KE-
3 6 11 14 18
JK 1 (J) 7,5 24,8 35 38,7 36
JK 1 (K) 2,5 18 26 27 27
JK 2 (J) 0 4,9 13,7 17,5 17,8
JK 2 (K) 14,25 24,35 28,95 29 32,35
JK 4 (J) 0,75 5,1 8,5 8,7 8,25
JK 4 (K) 6,75 19,73 25,75 28,15 28,25



PERLAKUAN Berat Biomassa
JK 1 (J) 0,7
JK 1 (K) 0,6
JK 2 (J) 0,6
JK 2 (K) 0,5
JK 4 (J) 0,7
JK 4 (K) 0,1




PERLAKUAN Berat Biomassa
J1 0
J2 0
J4 0,5
J8 3,1




PERLAKUAN Berat Biomassa

K1 0,3
K2 0,3
K4 1,2
K8 1,9


IV. 2 Pembahasan
Kompetisi adalah interakksi antar individu yang muncul akibat kesamaan kebutuhan akan sumberdaya yang bersifat terbatas, sehingga membatasi kemampuan bertahan (survival), pertumbuhan dan reproduksi individu penyaing (Begon et al .1990), sedangkan Molles (2002) kompettisi didefinisikan sebagai interaksi antar individu yang berakibat pada pengurangan kemampuan hidup mereka. Kompetisi dapat terjadi antar individu (intraspesifik) dan antar individu pada satu spesies yang sama atau interspesifik (Krebs, 2002; Molles, 2002)
Berdasarkan hasil pengamatan pada pengukuran yang dilakukan selama 1 bulan lamanya terhadap pertumbuhan jagung dan kacang hijau. terlihat hasil pada J1 tdak terjadi pertumbuhan pada jagung yang ditanam, ini di mungkinkan pemilihan biji jagung yang kurang baik/ jelek, oleh karena itu pada percobaan J1 selama pengamatan tidak ada pertumbuhan jagung yang terjadi. Begitupun pada jagung pada J2 yang tidak terjadi pertumbuhan jagung disana, karena peilihan jagung yang sama pada iji jagung pada J1. Pada J4 pada hari ketiga tidak ada pertumbuhan ini dimungkinkan nutrisi yang di perebutkan belum cukup banyak untuk tumbuhnya jagung, namun pada hari ke 6 sampai hari ke 18, ini dimungkinkan karena nutrisi yang dibutuhkan oleh biji jagung untuk tumbuh sudah dapat terpenuhi. pada hari ke 6 pertumbuhan jagung sebesar 1,05 Cm , pada hari ke 11 terjadi pemambahan tinggi yang cepat menjadi 7Cm, namun pada hari ke 14 pertambahan tinggi hanya sebesar 0,5Cm sebesar 7,5Cm mungkin pada saat ini jagung sedang memperebutkan nutrisi yang ada pada pot karena jumlah nutrisi yang terbatas untuk 4 biji jagung, sama halnya pada hari ke 18 hanya bertambah sebesar 0,5Cm menjadi 8Cm.
Pada J8 pada hari ke 3 pertumbuhan jagung sebesar 1,9Cm dan pada hari ke 6 sebesar 2,5Cm, namun pada hari ke 11 terjadi pertumbuhan yang pesat menjadi 16,8Cm, ini dimungkinkan pada tahap ini jagung memiliki nutrisi yang cukup untuk melakukan perbanyakan sel sehingga pertumbuhan jagung menjadi pesat, namun pada hari ke 18 hanya terjadi pertumbuhan jagung sebesar 1,1Cm ini mungkin karena jagung mulai memperebutkan nutrisi yang ada / tersedia dalam pot karena ruang tumbuh yang sempit mada kadap terjadi juga pembentukan allelopaty oleh jagung untuk memperebutkan nutrisi. dari data ini dapat disimpulkan pertumbuhan jagung pada hari ke 3 sampai ke 6 pertumbuhan jagung mulai tumbuh mungkin karena jagung mulai dapat nutrisi yang cukup untuk tumbuh namun pada hari ke 11, 14, dan 18 pertumbuhan jagung mulai melambat ini dimungkin kan terjadi perebutan nutrisi pada tanaman jagung yang ada didalam pot dan juga karena luasan lahan / jarak antas jagung yang sempit sehingga terjadi persaingan yang sangat ketat untuk memperebutakan nutrisi.
Pada pertumbuhan K 1, pada hari ke 3 tidak terjadi pertumbuhan mungkin karena nutrisi yang diperlukan untuk tumbuh belum tercukupi, namun pada hari ke 6 kacang hijau mulai tumbuh sebesar 7,5Cm, dan pada hari ke 12 sebesar 18 Cm, pertumbuhan yang pesat ini mungkin karena kacang hijau yang hanya menenpati lahan tersebut hanya 1 dan juga nutrisi yang di perlukan sudah tercukupi sehingga terjadi pertumbuhan yang cepat. pada hari ke 15 terjadi pertumbuhan tinggi sebesar 21 Cm, dan hari ke 18 sebesar 22Cm ini dimungkinkan karena nutrisi yang terkandung dalam tanah tidak lagi cukup untuk kacang hijau melakukan pertumbuhan sama halnya pada hari ke 21 tidak terjadi pertumbuhan tinggi. tinggi tanamah kacang hijau tetap 22Cm, ini di mungkinkan karena tanah yang terlalu kering(kurang disiram) atau juga karena pH tanah yang tarlalu asam sehingga mengganggu pertumbuhan kacang hijau, walaupun memiiki ruang tumbuh yang cukup luas.
Pada pertumbuhan K2 pada hari ke 3 sudah tarjadi pertumbuhan pada kacang hijau sebesar ),5Cm dan pada hari ke 6 sebesar 7,5 Cm, pada hari ke 12 sebesar 9,25Cm, pada hari ke 15 sebesar 9,25cm (tidak terjadi pertumbuhan petambahan tinggi), pada hari ke 18 sebesar 10Cm da pada hari ke 21 sebesar 10,5 Cm. pada pertumbuhan K4 dan K8 terjadi pertumbuhan tiggi yang signifikan namun pada sekitar hari ke 15 sampai hari ke 21 pertumbuhan kacang melambat, ini disebabkan persaingan memperebutkan nutrisi semakin besar karena ruang tanam juga yang semakin kecil/ sempit (pada J8) ini yang mengakibatkan perebutan nutrisi semakin besar.
Persaingan dapat terjadi diantara sesama jenis atau antar spesies yang sama (intraspesific competition), dan dapat pula terjadi diantara jenis-jenis yang berbeda (interspesific competition). Persaingan sesama jenis pada umumnya terjadi lebih awal dan menimbulkan pengaruh yang lebih buruk dibandingkan persaingan yang terjadi antar jenis yang berbeda
Sedangkan pada pengukuran tinggi rata-rata pertumbuhan JK ( jagung dan Kacang hijau) taejadi pertumbuhan diantara kedua spesies tersebut namun pertumbuhan tersebut tidak maksimal/ terhambat oleh beberapa hal seperti pengaruh suhu, kelembaban dan juga pH yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan dan yang terutama adalah proses perebutan nutrisi yang ada di dalam tanah antara spesies jagung dan spesies kacang hijau, dan juga karena jarak tanam mereka yang dekat antara yang satu dengan yang lain. ini menyebabkan terjadinya persaingan/ kompetisi untuk memperebutakn nutrisi, persaingan intraspesifik( sesama spesies) dan juga persaingan interspesifik ( antara spesies yang berbeda), ini membuktikan bahwa di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tunbuhan juga berkompetisi dalam hal ini adalah berkompetisi memperebutkan nutsiri untuk pertumbuhannya.
Secara teoritis ,apabila dalam suatu populasi yang terdiri dari dua spesies , maka akan terjadi interaksi diantara keduanya. Bentuk interaksi tersebut dapat bermacam-macam,salah satunya adalah kompetisi. Kompetisi dalam arti yang luas ditujukan pada interaksi antara dua organisme yang memperebutkan sesuatu yang sama. Kompetisi antar spesies merupakan suatu interaksi antar dua atau lebih populasi spesies yang mempengaruhi pertumbuhannya dan hidupnya secar merugikan.Bentuk dari kompetisi dapat bermacam-macam. Kecenderungan dalam kompetisi menimbulkan adanya pemisahan secara ekologi , species yang berdekatan atau yang serupa dan hal tersebut di kenal sebagai azaz pengecualian kompetitif ( competitive exclusion principles ) (Ewusie,1990).


BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari percobaan diatas maka dapat disimpulkan: Kompetisi adalah interakksi antar individu yang muncul akibat kesamaan kebutuhan akan sumberdaya yang bersifat terbatas, sehingga membatasi kemampuan bertahan (survival). Pada setiap tumbuhan pasti akan mengalami persaingan untuk mendapatkan nutrisi sebagai bahan untuk kelangsungan hidupnya, baik secara intraspesifik ( dalam 1 jenis ) dan Interspesifik ( antara spesies lain ). Ruang tanam / jarak tanam juga mempengaruhi pada pertumbuhan tanaman jagung dengan kacang hijau. Pertambahan tanaman jagung dan kacang hijau bertambah secara signifikan kadang ada yang naik secara cepat, namun pada sekitar hari ke 15 pertumbuhannya mulai melambat, karena telah terjadi persaingan disana untuk mendapatkan nutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

Budiastuti. 2009. Foliar Triaconthanol Application and Plant Spacing on Mungbean. UI Press : Jakarta.
Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika . ITB : Bandung.
Kartawinata. 1986. Pengantar Ekologi. Remadja karya CV : Bandung.
Kastono. 2005. Ilmu Gulma, Jurusan Budidaya Pertanian. UGM: Yogyakarta.
Michael. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI Press : Jakarta.
Naughton. 1998. Ekologi Umum, edisi kedua. UGM Press : Yogyakarta.
Odum. 1993. Dasar-dasar Ekologi. UGM Press: Yogyakarta.



LAMPIRAN
LAMPIRAN
  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
K1 10,4 20 21 22,5 23,6 24,5 26,2 29

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
K1 10,6 12,5 15 16 16,5 18 19 21
K2 1,5 21,5 22 22,6 22,9 23 0 0
rata-rata 6,05 17 18,5 19,3 19,7 20,5 9,5 10,5

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
K1 9 20 21,5 22,5 22,5 22,5 23 24,5
K2 10,3 20,5 21 23,5 24,3 25,5 27,8 30
K3 9,6 21,5 22,5 23,8 24 26 26,7 27,6
K4 10 19,5 20,5 22 23 23,4 24,4 25,6
rata-rata 9,725 20,375 21,375 22,95 23,45 24,35 25,475 26,925

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
K1 3,3 20,8 21 23 24,3 26 30,2 32
K2 10 20,4 21 23,4 25,5 26,8 28,6 33,3
K3 9,1 20,8 21,6 23,3 25 27 29,1 31,5
K4 9,1 21,9 23 24,5 26,5 26,7 27 27,5
K5 7 20,9 22 23,5 24,3 28,5 32,3 34,5
K6 9,4 18 19,4 21 26,5 26,5 32,3 33
K7 7 8,5 8,5 8,6 11,5 15 17 20,4
K8 8,2 20,2 22 23,7 25,2 26 30,4 31,6
rata-rata 7,8875 18,9375 19,8125 21,375 23,6 25,3125 28,3625 30,475

Jk
  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J - - - - - - - -
K 3,5 21 21,8 25 25,8 28 28,8 30,8

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J1 1,1 3 4,1 6,2 8,6 11 0 0
J2 0 1,8 2,4 3 4,4 6 8,3 11
rata-rata 0,55 2,4 3,25 4,6 6,5 8,5 4,15 5,5
K1 5 15,4 17 19 19,8 22 24,1 26,5
K2 7,2 20 21,5 23,2 24 26,9 27 27,7
rata-rata 6,1 17,7 19,25 21,1 21,9 24,45 25,55 27,1


  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J1 - - - - - - - -
J2 0,8 3,3 4,2 6,1 7 10 12,2 14,5
J3 0,6 2,9 3,2 4,2 4,8 7,5 8,8 9,5
J4 - - - - - - - -
rata-rata 0,7 3,1 3,7 5,15 5,9 8,75 10,5 12
K1 9,4 16,7 18 19,2 20 22 22,4 23
K2 4,8 19,2 21 22 22,4 23 24,6 26,5
K3 10,6 14,5 16 20 21,7 22,8 23,3 24,3
K4 1,2 14,8 16,8 17,1 17,8 18 18,3 18,5
rata-rata 6,5 16,3 17,95 19,575 20,475 21,45 22,15 23,075


Jagung
  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
Jagung 2,8 4,6 5,3 6,2 8,6 10,4 12  

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J1 2 6,5 7,6 8,2 10 10,4 10,8  
J2 2,5 7 8 8,6 11 11,6 11,8  
rata-rata 2,25 6,75 7,8 8,4 10,5 11 11,3  

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J1 2,2 3,8 4,6 5,2 7,3 8,6 9,7  
J2 2 3 3,3 5,4 6,9 7,8 8,3  
J3 2,3 3,8 4,2 5,5 7,2 7,7 8,1  
J4 2,4 3,9 4,7 5,8 7,1 7,8 8,7  
rata-rata 2,225 3,625 4,2 5,475 7,125 7,975 8,7  

  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21 hari ke-24
J1 1,8 2,4 3,2 3,8 6 6,7 7,6  
J2 1,6 2 2,7 3,2 5,3 6,1 7,7  
J3 1,7 2,4 2,9 3,7 5,8 6,3 7,8  
J4 1,4 1,8 2,8 3,6 5,4 6,8 7,4  
J5 1,9 2,6 3,6 4,1 6,3 7,1 8,1  
J6 1,3 1,9 2,4 3,2 5,2 6,4 7,3  
J7                
J8                
rata-rata 1,62 2,18 2,93 3,60 5,67 6,57 7,65  

Hasil Rata-rata
  3 6 9 12 15 18 21 24
K1 10,4 20 21 22,5 23,6 24,5 26,2 29
K2 6,05 17 18,5 19,3 19,7 20,5 9,5 10,5
K4 9,725 20,375 21,375 22,95 23,45 24,35 25,475 26,925
K8 7,8875 18,9375 19,8125 21,375 23,6 25,3125 28,3625 30,475


  3 6 9 12 15 18 21
J1 2,8 4,6 5,3 6,2 8,6 10,4 12
J2 2,25 6,75 7,8 8,4 10,5 11 11,3
J4 2,225 3,625 4,2 5,475 7,125 7,975 8,7
J8 1,616667 2,183333 2,933333 3,6 5,666667 6,566667 7,65


  3 6 9 12 15 18 21 24
J1 0 0 0 0 0 0 0 0
J2 0,55 2,4 3,25 4,6 6,5 8,5 4,15 5,5
J4 0,7 3,1 3,7 5,15 5,9 8,75 10,5 12
K1 3,5 21 21,8 25 25,8 28 28,8 30,8
K2 6,1 17,7 19,25 21,1 21,9 24,45 25,55 27,1
K4 6,5 16,3 17,95 19,575 20,475 21,45 22,15 23,075








Rata– Rata JK
  hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 hari ke-15 hari ke-18 hari ke-21
J1 2.5 3.8 4.6 6.8 7.8 8.1 9.8
J2 2.85 4.5 5.65 6.55 7.15 8.05 4.3
J4 2.225 3.225 4.55 5.45 6.4 7.7 8.45
Rata-rata 2.525 3.8415 4.9325 6.265 7.115 7.95 7.515
K1 3.5 20 24.5 25.5 25.6 25.6  
K2 11.75 22 24.5 27 27.25 27.6 14.25
k4 8.825 20.425 23 24.95 20.3 26.9 28.8
Rata-rata 8.025 20.60625 24 25.81667 24.38333 26.7 21.525


JAGUNG
JKT = [ ∑k∑n y2] – [T2. . . .]
N
= [ 1,96+3,61+0,81+0,0002+0,149+0,0306+0,0506+0,149]-(5,29)2
12
= 6,76 – 2,33
= 4,43
JKA = [ ∑ Ti ] – [ T2. . .]
ni N
= [ 2,48+5,06+2,14) – [27,98]
3 12
= 3,32-2,33
= 0,9

JKG = JKT – JKA
= 4,43-0,9
= 3,53

KACANG TANAH

JKT = [ ∑k∑n y2] – [T2. . . .]
N
= [0,36+0,16+0,04+0,3025+0,09+0,0225+0,09+0,0529+0,16+0,16+0,0756+0,0039] - (14,9769)
12
= 1,24815-1,24
= 0,0815

JKA = [ ∑ Ti ] – [ T2. . .]
ni N
= ( 1,69+0,9025+0,6084+0,7056) – [14,9769]
3 12
= 1,302-1,24
= 0,062

JKG = JKT – JKA
= 0,0815-0,062
= 0,0195

laporan praktikum ekologi daur karbon

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
DAUR KARBON






























BIOLOGI 4B
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKHNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010



BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Satu elemen penting di biosfer adalah karbon. Karbon adalah tulang belulang dari komponen organik dan tersusun mendekati dari 40% sampai 50% dari berat keadaan alam sekitar. Ada lebih komponen yang terbuat dari karbon dari pada kombinasi elemennya. Banyak dari karbon di bumi ditransfer dalam bentuk bahan bakar fosil, batu bara, tanah yang dipakai sebagai bahan bakar, minyak, dan gas alam (Lim, 1998).
Siklus karbon melibatkan seluruh lingkungan yang ada di alam semesta, meliputi atmosfer, biosfer, hidrosfer dan geosfer. Karena itu, siklus karbon disebut sebagai siklus biogeokimia. Pada setiap lingkungan dan antara lingkungan terjadi pertukaran karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui)
Karbon adalah elemen penting karena dapat membentuk bahan organik yang diperlukan bagi kehidupan di bumi. Karbon melalui rute perjalanannya di bumi mengalami suatu siklus yang disebut “siklus karbon”. Melalui siklus karbon kita dapat mempelajari aliran energi di bumi karena hampir seluruh energi kimia yang dibutuhkan untuk hidup disimpan pada bahan organik. Siklus karbon memiliki dua bagian penting yaitu, siklus di daratan dan siklus di perairan. Siklus karbon di perairan meninjau pergerakan karbon melalui ekosistim laut dan siklus karbon di darat meninjau pergerakan karbon melalui ekosistim daratan. Kandungan CO2 bebas di udara adalah sekitar 0,033%, dan cenderung mengalami peningkatan dari hasil penggundulan hutan dan pembakaran bahan bakar fosil.

Dalam kehidupan ini kita sebagai manusia saling membutuhkan satu sama lain dan juga saling melengkapi. Begitu juga dengan hewan dan tumbuhan, kedua jenis makhluk hidup ini dalam kehidupannya saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain dengan sesama jenisnya.Makhluk hidup tidak dapat ini tanpa saling melengkapi satu sama lain. Seperti hubungan antara produsen dan konsumen. Pada siklus karbon terdapat juga hubungan antara produsen dan konsumen, hal ini mutlak adanya dan hal ini berguna untuk menjaga kestabilannya tersebut. Pada siklus karbon ini baik produsen maupun konsumen memilki peran masing-masing yang tentu saja sangat penting dalam proses terjadinya hubungan antara produsen dan konsumen. Untuk dapat mengetahuinya kita dapat mempelajarinya.
Proses di alam sudah tertata rapi. Setiap tahap dari suatu proses seluruhnya berjalan dengan peranan tertentu yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup mahluk di alam. Tetapi manusia sering kali menciptakan suatu proses baru, dengan alasan untuk kesejahteraannya yang malah menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan proses alam, sampai akhirnya menimbulkan bencana. Mari kita simak sebuah contoh, suatu proses yang terjadi di alam, yaitu siklus karbon.
Siklus karbon melibatkan seluruh lingkungan yang ada di alam semesta, meliputi atmosfer, biosfer, hidrosfer dan geosfer. Karena itu, siklus karbon disebut sebagai siklus biogeochemical. Pada setiap lingkungan dan antara lingkungan terjadi pertukaran karbon.
Karbon berpindah dari lingkungan atmosfer ke biosfer sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida digunakan tumbuhan untuk berfotosintesis. Karbon ‘memasuki’ lingkungan atmosfer dari lingkungan bisofer juga sebagai gas karbondioksida. Gas karbondioksida dilepaskan ke atmosfer dari hasil pernafasan mahluk hidup, hasil pembusukan/fermentasi oleh bakteri/jamur dan hasil pembakaran senyawa-senyawa organik.
Selain petukaran karbon dari lingkungan atmosfer ke biosfer atau sebaliknya, karbon dipertukarkan dalam lingkungan bisofer melalui rantai makanan. Pertukaran karbon pun terjadi dari lingkungan biosfer ke geosfer. Cangkang hewan-hewan lunak pada umumnya mengandung karbonat. Karbonat kemudian diubah menjadi batu kapur melalui suatu proses yang disebut sedimentasi. Sedangkan perpindahan karbon dari lingkungan geosfer ke lingkungan atmosfer terjadi melalui hasil reaksi batu kapur dan erupsi gunung merapi.
Perpindahan karbon sebagai gas karbondioksida dari lingkungan atmosfer ke hidrosfer, atau sebaliknya terjadi untuk menyeimbangkan pH air laut, melalui reaksi kesetimbangan:
CO2 + H2O ? H2CO3H2CO3 ? H+ + HCO3
Sekitar 2 x 1016 karbon sebagai karbonat, batu bara dan minyak, sedangkan 2,5 x 1012 ton karbon sebagai karbondiokasida. Setiap tahunnya kemampuan tumbuhan untuk menyerap gas karbondioksida dari atomosfer hanya 15%. Dilain pihak, gas karbondioksida di atmosfer terus meningkat sejalan dengan perkembangan sarana transportasi dan industri. Perkembangan industri bukannya diiringi dengan penambahan kawasan yang dapat menyerap karbondioksida (misalnya tumbuhan), tetapi malah diiringi oleh penebangan hutan dimana-mana. Parahnya lagi, bukan hanya penebangan hutan tetapi pembakaran hutan yang menghasilkan gas karbondioksida. Hal inilah yang terjadi selama ini, akibatnya terjadi kenaikkan konsentrasi gas karbondioksida sebanyak 20% semenjak abad ke-19
Laut mempunyai peranan penting pada siklus karbon di bumi. Banyaknya jumlah karbon di laut adalah 50 kali lebih besar dari pada di atmosfer, dan perpindahan karbon dari atmosfer ke lautan melalui proses difusi. Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, dimana sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Untuk sementara, 48% dari karbon yang dilepaskan ke atmosfer oleh pembakaran bahan bakar fosil dan penebangan hutan di serap oleh laut untuk digunakan dalam proses fotosintesis oleh diatom dan alga. Small (1972) dan Cole (1988) mengemukakan bahwa 88% hasil fotosintesis di bumi merupakan sumbangan dari alga dan fitoplankton di perairan.

I.2 Tujuan percobaan
Tujuan pada praktikum ini adalah untukMempelajari daur biogeokimia pada ekosistem khususnya daur karbon.
Membedakan daur karbon yang terdapat di atmosfer dan juga di akuatik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Hubungan antara produsen dan konsumen dalam kaitannya dengan siklus karbon dan mutlak diperlukan dalam suatu ekosistem untuk menjaga kestabilannya. Di lingkungan terbuka, sangat sulit untuk menentukan faktor apa yang mempengaruhi hubungan tersebut karena terdapat banyak faktor yang mempengaruinya. Dalam siklus karbon, atom karbon terus mengalir dari produsen ke konsumen dalam bentuk molekul CO2 dan karbohidrat, sedangkan energy foton matahari digunakan sebagai pemasok energi yang utama. produsen memerlukan CO2 yang dihasilkan konsumen untuk melakukan fotosintesis. Dari kegiatan fotosintesis tersebut, produsen dapat menyediakan karbohidrat dan oksigen yang diperlukan oleh konsumen untuk melangsungkan kehidupannya (Anshory, 1984).
Siklus karbon sendiri memiliki arti yang luas. Dalam siklus karbon cadangan di atmosfer adalah sangat kecil jumlahnya jika dobandingklan dengan jumlah karbon yang ada didalam laut, minyak bumi dan cadangan-cadangan lain di dalam kerak bumi. Kehilangan karbon dalam aktifitas pertanian (misalnya karena penambahan karbon ke atmosfer lebih banyak dari pada yang disebabkan karena yang diikat oleh tanaman-tanaman tidak dapat menggantikan karbon yang dilepaskan dari tanah, terutama yang diakibatkan karena seringnya pengolahan tanah. Penebangan hutan dapat melepaskan karbon yang tersimpan dalam kayu, terutama apabila kayu tersebut segera terbakar, dan kemudian diikuti oleh oksidasi humus jika lahan tersebut digunakan untuk pengembangan daerah p[ertanian dan perkotaan (Hadioetomo, 1993).
Agar dapat lebih memahami tentang siklus karbon di dalam ekosistem, akan dimulai dari karbon dioksida (CO2) yang ada di udara atau larut di dalam air. CO2 dibentuk menjadi senyawa tertentu melalui proses fotosintesis. Senyawa ini bergabung dengan berbagai cara membentuk materi organism. Selama proses fotosintesis berjalan, energi dijalinkan ke dalam senyawa organic. Senyawa organik yang dihasilkan oleh produsen dapat diteruskan kepada konsumen. Waktu produsen atau konsumen menggunakan energi dari senyawa-senyawa organic, CO2 dapat dilepas kembali baik ke udara maupun ke dalam air, bergantung pada lingkungan hidup organism. Tetapi selama masih ada energi yang dapat dipergunakan, senyawa-senyawa organic akan tetap ada. Baik produsen maupun konsumen dapat membuang sisa materi yang mengandung karbon. Kalau organism mati tubuh mereka akan tinggal sebagai tumpukan suatu senyawa-senyawa karbon. Organisme saprovor (pembusuk) menyempurnakan proses pelepasan karbon (dalam bentuk CO2) dari sisa kotoran dan jasad-jasad yang mati. Sebagian besar dari saprovor yang menjadi konsumen terakhir, adalah mikroorganisme, kecuali jamur yang jelas dapat dilihat dengan mata bugil. Kadang-kadang proses pembusukkan yang dilakukan oleh sapravor berjalan sangat lambat, sehingga selama masa berjuta-juta tahun sejumlah besar senyawa karbon dapat menumpuk dalam bentuk gambut, batubara dan minyak bumi. Beberapa organism mengalihkan arus karbon melalui batu karang yang selanjutnya tertimbun sebagai batuan. Dengan demikian, lintasan arus utama siklus karbon adalah dari atmosfer atau hidrosfer ke dalam jasad hidup, kemudian kembali lagi ke atmosfer atau hidrosfer (Amir, 1981).
Ada beberapa persesuaian pendapat terhadap masalah CO2 dan kontribusi dari berbagai aktivitas manusia terhadap pengkayaan CO2 di atmosfer. Suatu pandangan yang ekstrim dari Woodwell dkk (1978), mengatakan bahwa pembinasaan atau pembakaran “pool biotik” (misalnya, pembakaran hutan) sama pentingnya dengan pembakaran minyak bumi. Broecke dkk (1977), menyimpulkan bahwa sumber CO2 terbesar berasal dari pembakaran minyak bumi, dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya. Bolin (1977) setuju terhadap semua pendapat diatas, bahkan hutan-hutan merupakan cadangan karbon dalam biomasa hutan sebanyak 1,5 kali lipat dan didalam humus tanah hutan sebanyak 4 kali lipat dari banyaknya karbon diatmosfer (Kamajaya.1996).
Oksidasi humas yang cepat dan pelepasan gas CO2 yang pada lazimnya ditahan dalam tanah yang mempunyai efek tajam dari pada apa yang baru diketahui sekarang termasuk pengaruhnya terhadap peredaran nutrient lainya. Sebagai contoh, Nelson (1967) menggunakan kerang untuk menunjukkan bahwa penggundulan hutan dan aktivitas pertanian telah mengakibatkan penurunan jumlah “trace element” tertentu dalam aliran permukaan tanah. Dia menemukan bahwa kerang yang berumur 1000 tahun hingga 2000 tahun mengandung sekitar 50 – 100% lebih banyak mangan (mg) dan barium (Ba) dibandingkan dengan kerang sekarang. Dalam proses pembersihan (eliminasi) Nelson berkesimpulan bahwa pengurangan aliran air asam yang mengandung CO2 yang merembes ke dalam tanah dapat mengurangi kecepatan pelarutan unsure-unsur tersebut dari batuan yang dialirinya. Dengan kata lain, air sekarang cenderung lebih cepat mengalir di permukaan tanah dari pada merembes kebawah melalui lapisan humas dalam tanah (Sowasono, 1987).
Karbon yang terdapat di laut cenderung mengatur karbondiokida di atmosfer. Karbon yang terdapat di dalam suatu perairan merupakan hasil dari proses sebagai berikut:- Difusi C02 dari udara- Air hujan- Respirasi organisme akuatik- Dekomposisi bahan organik- Gunung merapi bawah laut- Pelapukan batuan- Pelarutan batuan karbonat- Injeksi CO2 ke dalam air Karbondiokida dari atmosfer mengalami reaksi yang cepat ketika larut dalam air. CO2 yang larut dalam air bereaksi membentuk suatu kesetimbangan jenis ionik dan non-ionik yaitu:1. karbondioksida yang terlarut bebas2. asam karbonat (H2CO3)3. bikarbonat (HCO3-)4. karbonat (CO32-).

Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. CO2 bebas di perairan memiliki konsentrsi sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi di udara. Hal ini disebabkan karena pH air laut umumnya agak alkalis yang berarti mengandung kation-kation seperti Mg dan Ca dalam jumlah berlebihan. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan terjadi reaksi kesetimbangan antara CO2 dan H2O membentuk ion karbonat dan bikarbonat. Karbon anorganik umumnya dalam bentuk karbondioksida dan bikarbonat merupakan sumber utama karbon untuk fotosintesis dan produksi bahan organik. Bikarbonat sebenarnya dapat berperan sebagai sumber karbon. Namun, di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi karbondioksida dengan bantuan enzim karbonik anhidrase.Karbon terlarut dapat ditransportasi oleh arus laut. Di daerah kutub karbon terlarut akan tenggelam karena air dingin dipermukaan memiliki densitas yang tinggi sehingga karbon tersebar didasar. Sedangkan di daerarh tropis karbon terlarut mengalami penguapan menjadi karbondioksida dan kembali ke atmosfer akibat suhu perairan yang hangat. Karbon di perairan dalam bentuk karbondioksida, selain diperlukan oleh produsen untuk fotosintesis (menghasilkan 02 dan karbohidrat), ia juga berperan dalam beberapa hal di laut yaitu:1. Pembentukan cangkang dari berbagai jenis hewan laut2. Pengatur pH di laut3. Membantu dalam pembentukan batu karang Pengasaman Laut adalah istilah yang diberikan untuk proses turunnya kadar pH air laut yang kini tengah terjadi akibat meningkatnya karbon dioksida di atmosfer yang dihasilkan dari kegiatan manusia (seperti penggunaan bahan bakar fosil). Terlarutnya CO2 juga akan menyebabkan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di lautan , sehingga akan mengurangi pH lautan (semakin rendah nilai pH, semakin asam sebuah larutan). Menurut Jacobson (2005), pH di permukaan laut diperkirakan turun dari 8,25 menjadi 8,14 dari tahun 1751 hingga 2004. Sejak dimulainya revolusi industri, pH lautan telah turun sebesar lebih kurang 0,1 satuan, dan diperkirakan akan terus turun hingga 0,3 - 0,4 satuan pada tahun 2100 akibat makin banyaknya gas CO2 karena aktivitas manusia. Di dalam perairan, CO2 jarang mengakibatkan pH perairan lebih rendah dari 5,5. Perairan yang lebih asam dari pH 5,5 diduga bukan karena kandungan CO2 yang tinggi tetapi karena mengandung mineral-mineral asam kuat. Injeksi karbondioksida dilakukan dengan cara menginjeksikan gas tersebut ke dalam sedimen di laut dengan ketebalan ratusan meter. Kombinasi dari temperatur yang rendah dan tekanan yang tinggi pada kedalaman laut 3000 meter akan membuat karbon dioksida berubah menjadi cairan yang lebih berat dari air laut di sekitarnya, yang memungkinkannya untuk tidak terlepas dari tempat penyimpanannya. Hal ini dkemukakan oleh pakar dari Universitas Harvard. Injeksi langsung karbon dioksida ke dalam laut telah disarankan sebagai salah satu metode untuk mengontrol bertambahnya jumlah karbon dioksida di atmosfer bumi dan meminimalkan dampak dari pemanasan global. Meskipun penyerapan CO2 oleh lautan akan membantu memperbaiki efek iklim akibat emisi CO2, namun diyakini juga bahwa akan ada konsekuensi negatif terhadap organisme kerang-kerangan yang memanfaatkan kalsit dan aragonit dari kalsium karbonat untuk membentuk cangkang. Kalsit dan aragonit stabil di permukaan air karena ion karbonat berada pada kondisi sangat jenuh. Dengan turunnya pH air laut, konsentrasi ion karbonat ini juga akan turun, dan pada saat karbonat berada pada kondisi tak jenuh, struktur yang dibentuk dari kalsium karbonat menjadi rapuh dan akan mudah terpecah/terputus (dissolute). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karang-karangan (Gattuso et al., 1998), alga coccolithophore (Riebesell et al., 2000) dan pteropods (Orr et al., 2005) akan mengalami peningkatan pemutusan (maksudnya dissolution) ketika terpapar oleh naiknya kadar CO2. Fakta lain lebih jelas mengindikasikan bahwa penambahan karbondioksida dalam atmosfer dan pemanasan global mengurangi kondisi pertumbuhan fitoplankton. Hal ini berpotensi memusnahkan biota laut yang paling dasar dan memperburuk pemanasan global.
Konsentasi DIC permukaan laut “saat ini” (1990-an) (dari the GLODAP climatology)
Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, dimana sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Karbon anorganik, yaitu senyawa karbon tanpa ikatan karbon-karbon atau karbon-hidrogen, adalah penting dalam reaksinya di dalam air. Pertukaran karbon ini menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan juga dapat berubah sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon. Karbon siap untuk saling dipertukarkan antara atmosfer dan lautan. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat terbentuk:
CO2 + H2O ⇌ H2CO3
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia. Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada pH:
H2CO3 ⇌ H+ + HCO3-
























BAB III
METODE PERCOBAAN
III.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu 7 April 2010 di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

III.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah botol selai, siput kecil, Hydrilla verticillata, ruang gelap, larutan bromtimol biru, plastik es, karet gelang dan air.

III.3 Cara kerja
Pertama – tama, disiapkan terlebih dahulu percobaan A dan B masing – masing terdiri dari empat botol. Tandai botol – botol tersebut dengan A1,A2,A3,A4 serta B1,B2,B3,B4. Setelah itu di isi tabung dengan air hingga 2 cm di bawah mulut botol. Tambahkan 5 tetes brom timol blue pada masing – masing botol. Di masukkan ke dalam botol A1 dan B1 masing- masing satu hewan Lymnea sp. Lalu ke dalam botol A2 dan B2 masing – masing hewan Lymnea dan tumbuhan Hydrilla. ke dalam botol A3 dan B3 masing – masing tumbuhan Hydrilla sp. Dan botol A4 dan B4 sebagai control tidak di masukkan Lymnea maupun Hydrilla. Setelah semuanya di masukkan, tutup semua botol rapat –rapat. Di tempatkan rangkaian percobaan A ditempat terang dan rangkaian percobaan B di tempat gelap. Setelah 24 jam amati semua tabung, bandingkan dengan control. Lalu lakukan perhitungan kadar oksigen terlarut dengan menggunakan DO meter.








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil

DO awal 12,5%

Tempat terang
Perlakuan terhadap botol Perubahan warna Keteranagan
A1 Kuning muda (+++)
A2 Bening (++)
A3 Biru muda (+)
A4 Kuning (++++)

Perlakuan terhadap botol DO akhir
A! 12,2%
A2 11,7%
A3 12,4%
A4 12,3%

Tempat gelap
Perlakuan terhadap botol Perubahan warna Keteranagan
B1 Kuning muda (+++)
B2 Bening (+)
B3 Kuning bening (++)
B4 Bening (+)

Perlakuan terhadap botol DO akhir
B1 11,4%
B2 10,8%
B3 12,2%
B4 12,4%

Keterangan : A1, B1 = Air kolam + siput + bromtimol biru
A2, B2 = Air kolam + siput + hydrilla + bromtimol biru
A3, B3 = Air kolam + hydrilla + bromtimol biru
A4, B4 = Air kolam + bromtimol biru

IV.2 Pembahasan
Pada percobaan yang telah dilakukan untuk dapat memahami peran produsen dan konsumen pada siklus karbon digunakan dua perlakuan yang berbeda-beda, ada yang ditempat terang, dan ada yang ditempat gelap. Masing-masing perlakuan tersebut menggunakan 4 tabung yang isinya berbeda-beda. Botol pertama diisi dengan air kran ditambah siput ditambah larutan bromtimol biru, pada botol kedua diisi dengan air kran ditambah siput ditambah Hydrilla ditambah bromtimol biru, pada botol ketiga diisi dengan air kran ditambah hydrilla ditambah dengan bromtimol biru, dan pada botol ke empat diisi dengan air kran ditambah dengan bromtimol biru.
Pada percobaan ini bromtimol biru berfungsi sebagai indikator untuk dapat mengetahui apakah terdapat CO2 didalam tabung reaksi karena larutan bromtimol biru sangat sensitif dengan CO2, kesensitifan ini dapat dilihat dengan adanya reaksi perubahan warna. Setelah menempatkan masing-masing golongan botol ketempat yang telah dilakukan dengan perlakuan yang berbeda, tabung-tabung tersebut didiamkan selama 24 jam agar dapat melihat reaksi yang terjadi.
Setelah 24 jam diperoleh hasil pengamatan, pada saat didalam tempat terang di peroleh hasil pada botol pertama yang diisi dengan air kran + siput + bromtimol biru warna indikator kuning mudai, siput hidup tetapi kurang aktif, terjadi perubahan warna yang kuat, hal ini membuktikan bahwa CO2 lebih banyak. Siput terlihat kurang aktif karena proses fotosintesis yang terjadi sangat minim, hal ini disebabkan karena botol diletakkan didalam tempat terang. Pada botol kedua dengan isi air kran + siput + hydrilla + bromtimol biru warna indikator kuning bening, siput hidup tetapi kurang aktif, hydrilla berwarna hijau segar, hal ini menunjukkan bahwa respirasi lebih kuat. Pada botol ke tiga dengan isi air kran + hydrilla + bromtimol biru warna indikator biru bening hydrilla hijau segar, hal ini menunjukkan O2 berebut karena jumlah cahaya yang terbatas. Pada botol keempat diisi dengan air kran + bromtimol biru, botol keempat ini hanya digunakan sebagai kontrol.
Pada perlakuan diruang gelap, pada botol pertama yang diisi dengan air kran + siput + bromtimol biru warna indikator kuning muda, siput hidup tapi kurang aktif, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi proses fotosintesis sehingga siput tidak dapat mengambil O2 yang terjadi hanya lah proses respirasi yang dihasilkan oleh siput tersebut, Pada botol kedua dengan isi air kran + siput + hydrilla + bromtimol biru warna indikator kuning bening, siput mati, hydrilla layu, hal ini menunjukkan hydrilla berubut O2 dengan siput, hydrilla juga tidak dapat berfotosintesis dengan tidak adanya cahaya. Pada botol ke tiga dengan isi air kran + hydrilla + bromtimol biru warna indikator kuning bening, hydrilla layu, hal ini menunjukkan bahwa respirasi terjadi sedikit tetapi fotosintesis tidak terjadi. Pada botol keempat diisi dengan air kran + bromtimol biru, tabung keempat ini hanya digunakan sebagai kontrol.

Dari hasil yang telah kita peroleh dapat dilihat bahwa organisme-organisme yang mati/ kurang aktif terlebih dahulu terdapat pada tabung yang diberi perlakuan ditempat gelap, hal ini karena tidak terjadi fotosintesis ditempat gelap karena tidak tersedianya cahaya pada tempat gelap. Organisme-organisme tersebut membutuhkan zat O2, CO2, dan karbohidrat. Peristiwa yang ditunjukkan dengan perubahan warna pada bromtimol biru adalah peristiwa respirasi, karena peristiwa respirasi menghasilkan CO2 yang sangat sensitif terhadap bromtimol biru, kesensitifan ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna pada bromtimol biru. Apabila terjadi respirasi yang cukup banyak, botol tersebut tampak berembun. Pada tabung A4 dan B4 bromtimol biru tidak mengalami perubahan warna, karena botol-botol tersebut hanya berisi dengan air kran dan bromtimol biru, tidak terdapat organism didalamnya, botol-botol ini hanya berfungsi sebagai kontrol. Dari rancangan paercobaan dapat dilihat bahwa fungsi tabung A4 dan tabung B4 hanya berfungsi sebagai control atau sebagai pembanding untuk dapat mengetahui apakah percobaan yang telah dilakuakan berhasil atau tidak. Hasil yang diperoleh adalah semua organisme yang ditempatkan ditempat gelap akan mati semua karena tidak tersedianya cahaya untuk produsen melakuakan proses fotosintesis, tanpa adanya O2 yang dihasilkan pada proses fotosintesis, konsumen tidak dapat hidup dan melakuakn proses respirasi. Disini siklus karbon berperan atau berjalan jika berubah menjadi kuning yang sebelumnya indikatornya berwarna biru.

Sementara pada nilai OD awal dan akhir tiap tabel berbeda-beda, nilai OD pada tempat terang pada botol yang berisi hydrilla memiliki nilai OD yang tinggi. hal ini menunjukkan bahwa terjadi respirasi lebih kuat. sedangkan pada nilai OD pada lymnea seharusnya lebih kecil karena siput membutuhkan oksigen maka dari itu seharusnya nilai ODnya kecil dibanding botol yang berisi lymnea dan hydrillia.

sedangkan pada nilai OD pada tempat gelap seharusnya nilai OD pada tempat yang diisi oleh lymnea kecil hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi proses fotosintesis sehingga siput tidak dapat mengambil O2 yang terjadi hanya lah proses respirasi yang dihasilkan oleh siput tersebut, sama halnya dengan botol yang diisi oleh lymnea dan hidrilla seharusnya memiliki nilai OD yang kecil, hal ini menunjukkan bahwa respirasi terjadi sedikit tetapi fotosintesis tidak terjadi













BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada praktikum ini adalah :
Produsen berperan sebagai penyedia oksigen dan karbohidrat bagi konsumen, Konsumen berperan sebagai penyedia CO2 untuk produsen untuk digunakan produsen dalam melakukan proses fotosintetis, Hubungan produsen dan konsumen saling bergantung satu sama lain, jika salah satu tidak dapat melakukan proses dengan baik maka proses lainnya tidak akan bisa berjalan, Dalam melakukan proses fotosintesis mutlak diperlukan bantuan cahaya matahari, Sinar matahari, CO2, O2, dan karbohidrat sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan antara hubungan produsen dan konsumen, Dalam percobaan ini dapat dilihat adanya siklus karbon, yang dapat dilihat pada tabung reaksi kedua. Karena pada tabung ini terjadi interaksi timbal balik antara Hydrilla dan siput,Kondisi ruangan dapat mempengaruhi keasamaan suatu lingkungan, ini dapat dilihat pada perbedaan warna, dan bentuk produsen, pada kamar terang dan kamar gelap. Pada kamar gelap, kondisi asamnya lebih pekat, daripada di kamar terang.














DAFTAR PUSTAKA

Lim, D. 1998. Microbiology Second Edition. McGraw Hill Companies : New York

Amir, A. 1981. Biologi umum. Gramedia. Jakarta.

Anshory, I. 1984. Biologi umum. Genesa Exact. Bandung

Hadioetomo, ratna Sari. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT. Gramedia: Jakarta.

Kamajaya.1996. Sains Biologi. Ganeca Exact. Bandung

Sowasono, Haddy. 1987. Biologi Pertanian. Rajawali Press, Jakarta

laporan praktikum ekologi makrofauna tanah

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
MAKROFAUNA TANAH


















BIOLOGI 4B
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKHNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar belakang
Kehidupan Hewan tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan,yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik.
Faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat.
Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainya. Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit.
Dalam studi ekologi hewan tanah, pengukuran factor lingkungan abiotik penting dilakukan karena besarnya pengaruh faktor abiotik itu terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok hewan ini. Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi hewan yang di teliti. Pada studi tentang cacing tanah, misalnya pengukuran pH tanah dapat memberikan gambaran penyebaran suatu jenis cacing tanah. Cacing tanah yang tidak toleran terhadap asam, misalnya, tidak akan ditemui atau sangat rendah kepadatan populasinya pada tanah yang asam. Selain itu pengukuran faktor lingkungan abiotik pada tampat dimana jenis hewan tanah kepadatannya akan sangat menolong dalam perencanaan pembudidayaannya.
Tidak pula dapat dipungkiri, bahwa dalam mempelajari ekologi hewan tanah perlu diketahui metode-metode pengambilan contoh di lapangan karena hewan itu relatif kecil dan tercampur dengan tanah. Analisis statistik pun perlu diketahui agar didapat kesimpulan yang sahih dari penelitian yang dilakukan.Salah satu yang cukup sulit dalam mempelajari ekologi hewan tanah adalah masalah pengenalan jenis. Pada tanah hidup hampir semua golongan hewan mulai dari protozoa sampai mamalia. Seseorang yang mempelajari ekologi hewan tanah minimal dapat mengenal kelompok (genera atau famili, minimal ordo) dari hewan tanah yang dipelajari. Untuk studi tetentu haruslah dapat diidentifikasi sampai tingkat jenis (spesies) dari hewan tanah yang diteliti.
I.2.Tujuan :
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis fauna tanah yang tertangkap dengan menggunakan Pitfall Trap


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang hidup di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatatu bentangan alam yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses pelapukan batu-batuan dan bahan organic yang terdiri dari organisme tanah dan hasil pelapukan sisa tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah. Dengan denikian, kehidupan hewan tanah sangatdi tentukan oleh faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi hewan tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur.
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah dapat di lakukan langsung di lapangan dan ada pula yang hanya dapat diukur di laboraturium. Untuk pengukuran faktor fisika-kimia tanah di laboraturium maka di lakukan pengambilan contoh tanah dan dibawa ke laboraturium.
Dilapangan hewan tanah juga dapat dikumpulkan dengan cara memasang perangkap jebak (pit fall-trap). Pengumpulan hewan permukaan tanah dengan memasang perangkap jebak juga tergolong pada pengumpulan hewan tanah secara dinamik.
Perangkap jebak sangat sederhana, yang mana hanya berupa bejana yang ditanam di tanah. Agar air hujan tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap diberi atap dan agar air yang mengalir di permukaan tanah tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap dipasang pada tanah yang datar dan agak sedikit tinggi. Jarak antar perangkap sebaliknya minimal 5 m.
Pada perangkap tanpa umpan, hewan tanah yang berkeliaran di permukaan tanah akan jatuh terjebak, yaitu hewan tanah yang kebetulan menuju ke perangkap itu, sedangkan perangkap dengan umpan, hewan yang terperangkap adalah hewan yang tertarik oleh bau umpan yang diletakkan di dalam perangkap, hewan yang jatuh dalam perangkap akan terawat oleh formalin atau zat kimia lainnya yang diletakkan dalam perangkap tersebut.
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta, moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994). Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Lavelle, 1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992; Pankhurst, 1994). Mengingat pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem

Atap



Tanah Bejana




Gambar 1 Perangkap jebak

Perangkap jebak pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perangkap jebak tanpa umpan penarik, dan perangkap dengan umpan.
Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beranekaragam, mulai dari protozoa, Nematoda, anaelida, mollusca, arthropoda hingga vertebrata.
Hewan tanah dapat pula di kelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, dan kegiatan makannya. Berdasarkan ukuran tubuhnya hewan-hewan tersebut dikelompokkan atas mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Ukuran mikrofauna berkisar antara 20 mikron sampai dengan 200 mikron, mesofauna antara 200 mikron sampai dengan 1 cm, dan makrofauna > 1 cm ukurannya. Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, penodik, dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang digolongkan sebagai epigon, hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan organik tanah, dan eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan makannya hewan tanah itu ada yang bersifat herbivora, dapravora, fungivora dan predator.




Penelitian mengenai hewan tanah di Indonesia masih sedikit sekali. Penelitian tentang hewan tanah yang pertama-tama di Indonesia dilakukan pada tahun 1925 oleh Damenerman. Dari hasil penelitian itu ternyata hewan permukaan tanah yang paling tinggi kepadatan populasinya adalah Hymenopetra yaitu famili Formiadae, dan diikuti oleh Coleaptura, Oniscoidea, Myriapoda, dan Arachnida. Dari hasil penelitian Adianto di Jawa Barat dan Suharjono di Kalimantan, ternyata hewan yang tertinggi kepadatan populasinya di lantai hutan adalah Collembata, kemudian diikuti oleh Arachnida, Coleoptera, Hymenoptera, dan kelompok lainnya. Hewan dalam tanah yang tertinggi kepadatan populasinya dari penelitian Adianto adalah Acarina, Collembata, Hymenoptera, Symphyia, Diplura, dan Psocoptera.



BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Lokasi dan waktu penelitian
penelitian dilakukan di depan / area lingkungan pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada rabu, 31 maret 2010
III.2 Alat dan Bahan
Alat yang di gunakan adalah; 5buah bagian bawah botol aqua 1,5L, patok, fiber glass, botol film/plastic sampel, penjepit / pinset
Bahan yang di gunakan adalah formalin 4%
III.3 Prosedur percobaan
Percobaan ini dilakukan di sekitar pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.. Perangkap jebak / pitfall trap yang digunakan berupa bagian bawah botol aqua plastik. Bagian bawah botol tersebut ditanam dengan permukaan atas botol rata dengan permukaan tanah. Pada percobaan ini digunakan 1 umpan yaitu larutan formalin lalu didiamkan selama 7 hari.
Pada hari terakhir lakukan pengukuran fisik tanah yang meliputi pH tanah, suhu tanah, dan intansitas cahaya yang sampai pada tanah
Setelah 7 hari, perangkap tersebut diamati dan mungkin ada beberapa spesies tertentu yang tertangkap dan terjebak. Sampel fauna tanah yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel. Selanjutnya dibawa ke laboraturium untuk diidentifikasi. Selanjutnya dihitung jumlah individu atau spesies setiap kelompok takson (kelas, ordo, famili).

Tekhnik pencuplikan mengikuti standart Internasional Biodeversity Observation Year (IBOY)


1M
Pitt Fall Trap

1M




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pengamatan
Tabel 1 faktor lingkungan abiotik
Tempat kelompok Suhu udara (0C) Kelembaban udara (%) Intensitas cahaya (Klux) pH tanah Suhu tanah (0C)
Vegetasi pepohonan 1 30 33 80 63 6,7 2,02 6,8 28
3 30 34 67 63 1,8 2,4 6,5 28
5 30 32 68 63 1 0,8 6,8 29
Vegetasi rerumputan 2 30 33 78 31 24,1 30,6 6,9 26
4 30 33 93 80 29,7 30,6 6,9 26
6 30 33,5 85 42 36,7 30,6 6,5 25




Tabel 2 vegetasi pepohonan
Taksa ∑Individu KR (%) Pi Ln Pi H’=-∑Pi x Ln Pi
Kadal 1 0,39 0,0039 -5,4 0,021
Cacing 2 0,79 0,0079 -4,84 0,038
Semut hitam 2 23 9,16 0,0916 -2,39 0,218
Nyamuk 30 11,95 0,01195 -4,42 0,052
Semut merah 3 18 7,17 0,0717 -2,63 0,187
Semut hitam 1 13 5,17 0,0517 -2,96 0,153
Semut merah 2 10 3,98 0,0398 -3,22 0,128
Jangkrik 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Kumbang 3 4 1,59 0,0159 -2,958 0,047
Drosophila 3 1,19 0,0119 -4,43 0,052
Kutu tanah 125 49,8 0,0498 -2,99 0,0148
Kumbang 4 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Semut bersayap 2 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Insecta B 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
∑ 251









Table 3 vegetasi rerumputan
Taksa ∑ Individu KR Pi Ln Pi H’=∑Pi x Ln Pi
Semut hitam 1 137 24,7 0,24 -1,42 0,3408
Semut hitam 2 156 28,15 0,285 -1,255 0,357
Nyamuk 125 22,56 0,2256 -1,488 0,335
Jangkrik 16 2,88 0,0288 -3,54 0,1019
Laba-laba 1 13 2,34 0,0234 -3,75 0,0877
Laba-laba 2 7 1,26 0,0126 -4,37 0,055
Ulat 1 0,18 0,0018 -6,31 0,011
Semut merah 1 66 11,91 0,1191 -2,12 0,025
Semut merah 2 9 1,62 0,0162 -4,12 0,066
Kumbang 1 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Kumbang 2 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Semut bersayap 1 4 0,722 0,00722 -4,93 0,035
Lalat 6 1,08 0,0108 -4,52 0,048
Gastropoda 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Rayap 2 0,36 0,0036 -5,62 0,0202
Chilopoda 2 0,86 0,0036 -5,62 0,0202
Ngengat 2 0,36 0,0036 -5,62 0,0202
Kadal 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Insecta A 3 0,54 0,0054 -5,22 0,028
Diplopoda 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
∑ 554



IV.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan mengenai sampling fauna tanah dengan menggunakan perangkap dengan alat dan bahan yang sangat sederhana. Tahap pertama yang dilakukan adalah membuat jebakan dengan cara menggali 5 lubang yang diberi jarak 1 meter. Hal ini dilakukan agar kelima gelas aqua yang telah berisi larutan yang telah disediakan. Permukaan gelas aqua harus sejajar dengan permukaan tanah. Tahap yang kedua yaitu menutup permukaan gelas aqua dengan alat pelindung yang berbentuk persegi empat dan tipis. Hal ini dilakukan agar air hujan tidak masuk ke dalam botol aqua tersebut. Setelah itu dibiarkan selama 7 hari, kemudian diambil perangkap untuk diidentifikasi jenis spesies yang didapat di dalamnya, lalu dibawa ke laboratorium.
Dalam percobaan kali ini dapat diketahui jumlah makro fauna tanah yang terdapat pada vegetasi rerumputan jauh lebih banyak dari pada vegetasi pepohonan, ini di mungkinkan karena vegetasi rerumputan jauh lebih banyak makrofauna yang melewati vegetasi rerumputan dan terperangkap dalah jebakan sedang pada vegetasi pepohonan jarang ada makro fauna yang melewati, maka dari itu vegetasi rerumputan jauh lebih banyak dari pada vegetasi pepohonan. Nilai H’ berfariasi dimungkinkan karena factor lingkungannya juga yang tidak dama antara yang satu dengan yang lainnya,
Pada vegetasi pepohonan kutu tanah lah yang paling dominan sedangkan pada vegetasi rerumputan semut hitam 1 yang paling dominan ini di mungkinkan karena pada vegetasi rerumputan merupakan tempat asli semut hitan 1, sehingga merea terjebak saat ingin mengambil makan maupun sekedar berjalan di wilayah dia, pada vegetasi pepohonan yang tidak dominan adalah kadal, jangkrik, kumbang 4, semut bersayap, insect B. ini di mungkinkan karena makro fauna itu bukan mendiami tempat tersebut yang keberadaannya hanya sesaat di tempat itu sedangkan pada vegetasi rerumputan yang tidak dominan adalah ulat, kumbang 1 dan 2, gastropoda, kadal, diplopoda
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi hewan-hewan tanah tersebut diantaranya adalah faktor fisika dan kimia lingkungan tempat hidupnya.
Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada musim hujan menunjukkan hubungan yang nyata dengan C-organik tanah dan rasio C/N tanah, tetapi pada musim kemarau hubungan tersebut tidak terlihat. Perbedaan ini disebabkan keberadaan makrofauna yang aktif di permukaan sangat cepat berubah, baik populasi maupun keanekaragamannya. Makrofauna permukaan tanah terdiri dari makrofauna yang asli disitu (natric) dan makrofauna yang hanya sesaat keberadaannya di daerah tersebut (exotic). Sementara itu pada musim kemarau diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah. Hal ini disebabkan pada musim kemarau makrofauna tanah yang aktif dipermukaan di dominasi oleh makrofauna yang keberadaanya sesaat (exotic). Umumnya diversitas makrofauna yang aktif dipermukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah, seperti dilaporkan oleh Adianto (1992) dan Maftu’ah (2002).
Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang tidak dapat memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah dihancurkan oleh jazad renik tanah (Soepardi, 1983). Karena itu, diversitas makrofauna tanah berhubungan negatif dengan rasio C/N. Semakin tinggi rasio C/N tanah semakin rendah diversitas. Bahan organik yang terdekomposisi lebih lama (rasio C/N kecil) akan meningkatkan populasi makrofauna dalam tanah. Priyadarsini (1999) menyatakan bahwa fauna tanah umumnya menyukai bahan organik kualitas tinggi (bahan organik dengan rasio C/N rendah). Hubungan diversitas makrofauna dengan kadar air tanah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin rendah diversitas makrofauna. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Bahan organik dengan kadar air tinggi merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi lama (belum matang). Rasmadi dan Kurnain (2004) menyatakan bahwa gambut yang kurang matang mampu menahan air lebih besar dibandingkan gambut yang telah matang. Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomasa cacing, populasi semut dan Polydesmidae (milipida). Populasi cacing tanah, semut dan milipida berhubungan positif dengan pH. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral, sehingga meningkatnya pH gambut meningkatkan populasi cacing tanah. pH ideal untuk cacing tanah adalah 6–7,2 (Rukmana, 1999). Pada tanah gambut, semakin tinggi kandungan C-organik semakin rendah populasi cacing tanah. Cacing tanah menyukai bahan organik kualitas tinggi (C/N rendah). Kualitas bahan organik yang paling menentukan populasi cacing tanah adalah asam humat dan fulvat (Priyadarshini, 1999). Semakin tinggi kandungan asam humat dan fulvat, semakin kecil populasi cacing tanah; bahkan pada kondisi asam humat dan fulvat cukup tinggi cacing tanah bisa tidak dijumpai sama sekali. Semut juga berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah, dan mampu hidup pada rentang pH yang lebih besar dibandingkan cacing tanah. Meskipun demikian, dengan meningkatnya pH tanah gambut populasi semut juga meningkat. Milipeda berhubungan positif dengan kadar air, pH, C-organik, N total tanah gambut. Hal ini menjelaskan bahwa milipida mampu hidup pada tanah gambut dengan bahan organik tinggi. Milipeda membantu dekomposisi bahan organik. Kelimpahannya sangat tergantung pada keberadaan bahan organik (Maftu’ah, 2002). Menurut Tian (1992) milipeda berperan besar dalam pelepasan N dari bahan organik dengan rasio C/N tinggi (bahan organik kualitas rendah).









BAB V
KESIMPULAN
Makro fauna pada vegetasi rerumputan jauh lebih banyak di banding vegetasi pepohonan, pada vegetasi rerumputan semut hitam 1 adalah yang dominan, sedangkan pada vegetasi pepohonan kuatu tanahlah yang dominan. Pada vegetasi rerumputan dan vegetasi pepohonan terjadi perbedaan nilai H’ nya ini di karenakan dimana faktor lingkungan yang menguntungkan / yang baik bagi makro fauna itu untuk bergerak / untuk mencari makan sehingga terperangkap dalam pitfall trap.


















DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1983. Biologi Pertanian. Alumni Bandung : Bandung.
Muhammad, N. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara : Jakarta.
Syarif, S.E. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buawa : Jakarta.
Eni Maftu’ah, M. Alwi, dan Mahrita Willis. 2005. POTENSI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI
BIOINDIKATOR KUALITAS TANAH GAMBUT. BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005,
Halaman 1-14 http://bioscientiae.tripod.com
Maftu’ah E. 2002. Studi Potensi Diversitas Makrofauna Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Berkapur di Malang Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Adianto, 1992. Biologi Pertanian. Alumni. Bandung.
Crossley Jr. DA, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil: relations to processes. Agric.Ecosyst. Environ. 40,37-46
Pankhrust CE. 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable Productivity. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Favretta MR, Stinner SB, Purrington FF, & Bater JE. 1991. Invertebrates as bioindicator of soil use. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Pimentel D, Stinner BR, & Stinner D. 1992. Agroecosystem Biodiversity: Matching production and conservation biology. Agric. Ecosyst. Environ. 40, 3-23.
Anderson JM. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.






Lampiran


KR = ∑ Individu spesies X100%
∑ Induvidu total
Pada spesies kadal pada vegetasi pepohonan
KR = 1 X100% = 0,39
251

Pi = ∑ Individu spesies
∑ Induvidu total

Pi = = 1 = 0,0039
251


H’ = -∑ Pi Ln Pi
= -0,0039 Ln 0,0039
= 0,021