BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »
Powered By Blogger

Minggu, 25 April 2010

laporan praktikum ekologi makrofauna tanah

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI
MAKROFAUNA TANAH


















BIOLOGI 4B
PRODI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKHNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar belakang
Kehidupan Hewan tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan,yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik.
Faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat.
Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainya. Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit.
Dalam studi ekologi hewan tanah, pengukuran factor lingkungan abiotik penting dilakukan karena besarnya pengaruh faktor abiotik itu terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok hewan ini. Dengan dilakukannya pengukuran faktor lingkungan abiotik, maka akan dapat diketahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi hewan yang di teliti. Pada studi tentang cacing tanah, misalnya pengukuran pH tanah dapat memberikan gambaran penyebaran suatu jenis cacing tanah. Cacing tanah yang tidak toleran terhadap asam, misalnya, tidak akan ditemui atau sangat rendah kepadatan populasinya pada tanah yang asam. Selain itu pengukuran faktor lingkungan abiotik pada tampat dimana jenis hewan tanah kepadatannya akan sangat menolong dalam perencanaan pembudidayaannya.
Tidak pula dapat dipungkiri, bahwa dalam mempelajari ekologi hewan tanah perlu diketahui metode-metode pengambilan contoh di lapangan karena hewan itu relatif kecil dan tercampur dengan tanah. Analisis statistik pun perlu diketahui agar didapat kesimpulan yang sahih dari penelitian yang dilakukan.Salah satu yang cukup sulit dalam mempelajari ekologi hewan tanah adalah masalah pengenalan jenis. Pada tanah hidup hampir semua golongan hewan mulai dari protozoa sampai mamalia. Seseorang yang mempelajari ekologi hewan tanah minimal dapat mengenal kelompok (genera atau famili, minimal ordo) dari hewan tanah yang dipelajari. Untuk studi tetentu haruslah dapat diidentifikasi sampai tingkat jenis (spesies) dari hewan tanah yang diteliti.
I.2.Tujuan :
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis fauna tanah yang tertangkap dengan menggunakan Pitfall Trap


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hewan tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang hidup di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatatu bentangan alam yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses pelapukan batu-batuan dan bahan organic yang terdiri dari organisme tanah dan hasil pelapukan sisa tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah. Dengan denikian, kehidupan hewan tanah sangatdi tentukan oleh faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi hewan tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur.
Pengukuran faktor fisika-kimia tanah dapat di lakukan langsung di lapangan dan ada pula yang hanya dapat diukur di laboraturium. Untuk pengukuran faktor fisika-kimia tanah di laboraturium maka di lakukan pengambilan contoh tanah dan dibawa ke laboraturium.
Dilapangan hewan tanah juga dapat dikumpulkan dengan cara memasang perangkap jebak (pit fall-trap). Pengumpulan hewan permukaan tanah dengan memasang perangkap jebak juga tergolong pada pengumpulan hewan tanah secara dinamik.
Perangkap jebak sangat sederhana, yang mana hanya berupa bejana yang ditanam di tanah. Agar air hujan tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap diberi atap dan agar air yang mengalir di permukaan tanah tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap dipasang pada tanah yang datar dan agak sedikit tinggi. Jarak antar perangkap sebaliknya minimal 5 m.
Pada perangkap tanpa umpan, hewan tanah yang berkeliaran di permukaan tanah akan jatuh terjebak, yaitu hewan tanah yang kebetulan menuju ke perangkap itu, sedangkan perangkap dengan umpan, hewan yang terperangkap adalah hewan yang tertarik oleh bau umpan yang diletakkan di dalam perangkap, hewan yang jatuh dalam perangkap akan terawat oleh formalin atau zat kimia lainnya yang diletakkan dalam perangkap tersebut.
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta, moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar peranannya dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994). Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Lavelle, 1994). Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992; Pankhurst, 1994). Mengingat pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem

Atap



Tanah Bejana




Gambar 1 Perangkap jebak

Perangkap jebak pada prinsipnya ada dua macam, yaitu perangkap jebak tanpa umpan penarik, dan perangkap dengan umpan.
Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beranekaragam, mulai dari protozoa, Nematoda, anaelida, mollusca, arthropoda hingga vertebrata.
Hewan tanah dapat pula di kelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, dan kegiatan makannya. Berdasarkan ukuran tubuhnya hewan-hewan tersebut dikelompokkan atas mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Ukuran mikrofauna berkisar antara 20 mikron sampai dengan 200 mikron, mesofauna antara 200 mikron sampai dengan 1 cm, dan makrofauna > 1 cm ukurannya. Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, penodik, dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang digolongkan sebagai epigon, hemiedafon, dan eudafon. Hewan epigon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon hidup pada lapisan organik tanah, dan eudafon hidup pada tanah lapisan mineral. Berdasarkan kegiatan makannya hewan tanah itu ada yang bersifat herbivora, dapravora, fungivora dan predator.




Penelitian mengenai hewan tanah di Indonesia masih sedikit sekali. Penelitian tentang hewan tanah yang pertama-tama di Indonesia dilakukan pada tahun 1925 oleh Damenerman. Dari hasil penelitian itu ternyata hewan permukaan tanah yang paling tinggi kepadatan populasinya adalah Hymenopetra yaitu famili Formiadae, dan diikuti oleh Coleaptura, Oniscoidea, Myriapoda, dan Arachnida. Dari hasil penelitian Adianto di Jawa Barat dan Suharjono di Kalimantan, ternyata hewan yang tertinggi kepadatan populasinya di lantai hutan adalah Collembata, kemudian diikuti oleh Arachnida, Coleoptera, Hymenoptera, dan kelompok lainnya. Hewan dalam tanah yang tertinggi kepadatan populasinya dari penelitian Adianto adalah Acarina, Collembata, Hymenoptera, Symphyia, Diplura, dan Psocoptera.



BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Lokasi dan waktu penelitian
penelitian dilakukan di depan / area lingkungan pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada rabu, 31 maret 2010
III.2 Alat dan Bahan
Alat yang di gunakan adalah; 5buah bagian bawah botol aqua 1,5L, patok, fiber glass, botol film/plastic sampel, penjepit / pinset
Bahan yang di gunakan adalah formalin 4%
III.3 Prosedur percobaan
Percobaan ini dilakukan di sekitar pusat laboratorium terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.. Perangkap jebak / pitfall trap yang digunakan berupa bagian bawah botol aqua plastik. Bagian bawah botol tersebut ditanam dengan permukaan atas botol rata dengan permukaan tanah. Pada percobaan ini digunakan 1 umpan yaitu larutan formalin lalu didiamkan selama 7 hari.
Pada hari terakhir lakukan pengukuran fisik tanah yang meliputi pH tanah, suhu tanah, dan intansitas cahaya yang sampai pada tanah
Setelah 7 hari, perangkap tersebut diamati dan mungkin ada beberapa spesies tertentu yang tertangkap dan terjebak. Sampel fauna tanah yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel. Selanjutnya dibawa ke laboraturium untuk diidentifikasi. Selanjutnya dihitung jumlah individu atau spesies setiap kelompok takson (kelas, ordo, famili).

Tekhnik pencuplikan mengikuti standart Internasional Biodeversity Observation Year (IBOY)


1M
Pitt Fall Trap

1M




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pengamatan
Tabel 1 faktor lingkungan abiotik
Tempat kelompok Suhu udara (0C) Kelembaban udara (%) Intensitas cahaya (Klux) pH tanah Suhu tanah (0C)
Vegetasi pepohonan 1 30 33 80 63 6,7 2,02 6,8 28
3 30 34 67 63 1,8 2,4 6,5 28
5 30 32 68 63 1 0,8 6,8 29
Vegetasi rerumputan 2 30 33 78 31 24,1 30,6 6,9 26
4 30 33 93 80 29,7 30,6 6,9 26
6 30 33,5 85 42 36,7 30,6 6,5 25




Tabel 2 vegetasi pepohonan
Taksa ∑Individu KR (%) Pi Ln Pi H’=-∑Pi x Ln Pi
Kadal 1 0,39 0,0039 -5,4 0,021
Cacing 2 0,79 0,0079 -4,84 0,038
Semut hitam 2 23 9,16 0,0916 -2,39 0,218
Nyamuk 30 11,95 0,01195 -4,42 0,052
Semut merah 3 18 7,17 0,0717 -2,63 0,187
Semut hitam 1 13 5,17 0,0517 -2,96 0,153
Semut merah 2 10 3,98 0,0398 -3,22 0,128
Jangkrik 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Kumbang 3 4 1,59 0,0159 -2,958 0,047
Drosophila 3 1,19 0,0119 -4,43 0,052
Kutu tanah 125 49,8 0,0498 -2,99 0,0148
Kumbang 4 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Semut bersayap 2 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
Insecta B 1 0,39 0,0039 -5,54 0,021
∑ 251









Table 3 vegetasi rerumputan
Taksa ∑ Individu KR Pi Ln Pi H’=∑Pi x Ln Pi
Semut hitam 1 137 24,7 0,24 -1,42 0,3408
Semut hitam 2 156 28,15 0,285 -1,255 0,357
Nyamuk 125 22,56 0,2256 -1,488 0,335
Jangkrik 16 2,88 0,0288 -3,54 0,1019
Laba-laba 1 13 2,34 0,0234 -3,75 0,0877
Laba-laba 2 7 1,26 0,0126 -4,37 0,055
Ulat 1 0,18 0,0018 -6,31 0,011
Semut merah 1 66 11,91 0,1191 -2,12 0,025
Semut merah 2 9 1,62 0,0162 -4,12 0,066
Kumbang 1 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Kumbang 2 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Semut bersayap 1 4 0,722 0,00722 -4,93 0,035
Lalat 6 1,08 0,0108 -4,52 0,048
Gastropoda 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Rayap 2 0,36 0,0036 -5,62 0,0202
Chilopoda 2 0,86 0,0036 -5,62 0,0202
Ngengat 2 0,36 0,0036 -5,62 0,0202
Kadal 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
Insecta A 3 0,54 0,0054 -5,22 0,028
Diplopoda 1 0,18 0,0018 -6,31 0,11
∑ 554



IV.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan mengenai sampling fauna tanah dengan menggunakan perangkap dengan alat dan bahan yang sangat sederhana. Tahap pertama yang dilakukan adalah membuat jebakan dengan cara menggali 5 lubang yang diberi jarak 1 meter. Hal ini dilakukan agar kelima gelas aqua yang telah berisi larutan yang telah disediakan. Permukaan gelas aqua harus sejajar dengan permukaan tanah. Tahap yang kedua yaitu menutup permukaan gelas aqua dengan alat pelindung yang berbentuk persegi empat dan tipis. Hal ini dilakukan agar air hujan tidak masuk ke dalam botol aqua tersebut. Setelah itu dibiarkan selama 7 hari, kemudian diambil perangkap untuk diidentifikasi jenis spesies yang didapat di dalamnya, lalu dibawa ke laboratorium.
Dalam percobaan kali ini dapat diketahui jumlah makro fauna tanah yang terdapat pada vegetasi rerumputan jauh lebih banyak dari pada vegetasi pepohonan, ini di mungkinkan karena vegetasi rerumputan jauh lebih banyak makrofauna yang melewati vegetasi rerumputan dan terperangkap dalah jebakan sedang pada vegetasi pepohonan jarang ada makro fauna yang melewati, maka dari itu vegetasi rerumputan jauh lebih banyak dari pada vegetasi pepohonan. Nilai H’ berfariasi dimungkinkan karena factor lingkungannya juga yang tidak dama antara yang satu dengan yang lainnya,
Pada vegetasi pepohonan kutu tanah lah yang paling dominan sedangkan pada vegetasi rerumputan semut hitam 1 yang paling dominan ini di mungkinkan karena pada vegetasi rerumputan merupakan tempat asli semut hitan 1, sehingga merea terjebak saat ingin mengambil makan maupun sekedar berjalan di wilayah dia, pada vegetasi pepohonan yang tidak dominan adalah kadal, jangkrik, kumbang 4, semut bersayap, insect B. ini di mungkinkan karena makro fauna itu bukan mendiami tempat tersebut yang keberadaannya hanya sesaat di tempat itu sedangkan pada vegetasi rerumputan yang tidak dominan adalah ulat, kumbang 1 dan 2, gastropoda, kadal, diplopoda
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi hewan-hewan tanah tersebut diantaranya adalah faktor fisika dan kimia lingkungan tempat hidupnya.
Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada musim hujan menunjukkan hubungan yang nyata dengan C-organik tanah dan rasio C/N tanah, tetapi pada musim kemarau hubungan tersebut tidak terlihat. Perbedaan ini disebabkan keberadaan makrofauna yang aktif di permukaan sangat cepat berubah, baik populasi maupun keanekaragamannya. Makrofauna permukaan tanah terdiri dari makrofauna yang asli disitu (natric) dan makrofauna yang hanya sesaat keberadaannya di daerah tersebut (exotic). Sementara itu pada musim kemarau diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah. Hal ini disebabkan pada musim kemarau makrofauna tanah yang aktif dipermukaan di dominasi oleh makrofauna yang keberadaanya sesaat (exotic). Umumnya diversitas makrofauna yang aktif dipermukaan tanah tidak menunjukkan hubungan yang nyata dengan kualitas tanah, seperti dilaporkan oleh Adianto (1992) dan Maftu’ah (2002).
Diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah, di musim hujan maupun kemarau, berhubungan erat dengan pH, C-organik, rasio C/N dan kadar air tanah gambut. Keanekaragaman makrofauna meningkat dengan meningkatnya pH tanah. pH tanah menentukan komposisi dan jenis fauna (Suin, 1997). Diversitas fauna yang aktif dalam tanah juga berhubungan erat dengan C-organik. Semakin meningkatnya kandungan C-organik pada tanah gambut justru menurunkan diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Ini menunjukkan bahwa semakin matang dekomposisi gambut semakin meningkat diversitas makrofauna yang aktif dalam tanah. Makrofauna tanah umumnya merupakan konsumen sekunder yang tidak dapat memanfaatkan bahan organik kasar/seresah secara langsung, melainkan yang sudah dihancurkan oleh jazad renik tanah (Soepardi, 1983). Karena itu, diversitas makrofauna tanah berhubungan negatif dengan rasio C/N. Semakin tinggi rasio C/N tanah semakin rendah diversitas. Bahan organik yang terdekomposisi lebih lama (rasio C/N kecil) akan meningkatkan populasi makrofauna dalam tanah. Priyadarsini (1999) menyatakan bahwa fauna tanah umumnya menyukai bahan organik kualitas tinggi (bahan organik dengan rasio C/N rendah). Hubungan diversitas makrofauna dengan kadar air tanah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air semakin rendah diversitas makrofauna. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Bahan organik dengan kadar air tinggi merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi lama (belum matang). Rasmadi dan Kurnain (2004) menyatakan bahwa gambut yang kurang matang mampu menahan air lebih besar dibandingkan gambut yang telah matang. Makrofauna yang berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomasa cacing, populasi semut dan Polydesmidae (milipida). Populasi cacing tanah, semut dan milipida berhubungan positif dengan pH. Cacing tanah berkembang baik pada pH netral, sehingga meningkatnya pH gambut meningkatkan populasi cacing tanah. pH ideal untuk cacing tanah adalah 6–7,2 (Rukmana, 1999). Pada tanah gambut, semakin tinggi kandungan C-organik semakin rendah populasi cacing tanah. Cacing tanah menyukai bahan organik kualitas tinggi (C/N rendah). Kualitas bahan organik yang paling menentukan populasi cacing tanah adalah asam humat dan fulvat (Priyadarshini, 1999). Semakin tinggi kandungan asam humat dan fulvat, semakin kecil populasi cacing tanah; bahkan pada kondisi asam humat dan fulvat cukup tinggi cacing tanah bisa tidak dijumpai sama sekali. Semut juga berpotensi sebagai bioindikator kualitas tanah, dan mampu hidup pada rentang pH yang lebih besar dibandingkan cacing tanah. Meskipun demikian, dengan meningkatnya pH tanah gambut populasi semut juga meningkat. Milipeda berhubungan positif dengan kadar air, pH, C-organik, N total tanah gambut. Hal ini menjelaskan bahwa milipida mampu hidup pada tanah gambut dengan bahan organik tinggi. Milipeda membantu dekomposisi bahan organik. Kelimpahannya sangat tergantung pada keberadaan bahan organik (Maftu’ah, 2002). Menurut Tian (1992) milipeda berperan besar dalam pelepasan N dari bahan organik dengan rasio C/N tinggi (bahan organik kualitas rendah).









BAB V
KESIMPULAN
Makro fauna pada vegetasi rerumputan jauh lebih banyak di banding vegetasi pepohonan, pada vegetasi rerumputan semut hitam 1 adalah yang dominan, sedangkan pada vegetasi pepohonan kuatu tanahlah yang dominan. Pada vegetasi rerumputan dan vegetasi pepohonan terjadi perbedaan nilai H’ nya ini di karenakan dimana faktor lingkungan yang menguntungkan / yang baik bagi makro fauna itu untuk bergerak / untuk mencari makan sehingga terperangkap dalam pitfall trap.


















DAFTAR PUSTAKA
Adianto. 1983. Biologi Pertanian. Alumni Bandung : Bandung.
Muhammad, N. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara : Jakarta.
Syarif, S.E. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. Pustaka Buawa : Jakarta.
Eni Maftu’ah, M. Alwi, dan Mahrita Willis. 2005. POTENSI MAKROFAUNA TANAH SEBAGAI
BIOINDIKATOR KUALITAS TANAH GAMBUT. BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005,
Halaman 1-14 http://bioscientiae.tripod.com
Maftu’ah E. 2002. Studi Potensi Diversitas Makrofauna Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Berkapur di Malang Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang.
Adianto, 1992. Biologi Pertanian. Alumni. Bandung.
Crossley Jr. DA, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil: relations to processes. Agric.Ecosyst. Environ. 40,37-46
Pankhrust CE. 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable Productivity. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Favretta MR, Stinner SB, Purrington FF, & Bater JE. 1991. Invertebrates as bioindicator of soil use. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.
Paoletti MG, Pimentel D, Stinner BR, & Stinner D. 1992. Agroecosystem Biodiversity: Matching production and conservation biology. Agric. Ecosyst. Environ. 40, 3-23.
Anderson JM. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon
Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.






Lampiran


KR = ∑ Individu spesies X100%
∑ Induvidu total
Pada spesies kadal pada vegetasi pepohonan
KR = 1 X100% = 0,39
251

Pi = ∑ Individu spesies
∑ Induvidu total

Pi = = 1 = 0,0039
251


H’ = -∑ Pi Ln Pi
= -0,0039 Ln 0,0039
= 0,021

0 komentar: